Senin, 25 Mei 2009

Mendaki Puncak Welirang (Lembah Kijang)


Perjalanan ke puncak gunung Welirang memang sungguh mengasyikkan. Apalagi, sepanjang perjalanan, ada banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi. Diantaranya, lembah Kijang. Lokasinya, sekitar satu kilometer arah tenggara dari rute menuju puncak.

Lembah itu sendiri berupa sebuah tanah lapang. Dengan hamparan rumput setinggi sekitar 20 sentimeter yang dikelilingi rimbunan pohon pinus. Banyak para pendaki yang menjadikan lokasi ini sebagai tempat mendirikan tenda.

Selain karena tepat berada di titik tengah antara puncak Arjuna-Welirang, suasanya juga relatif tenang. Tak mengherankan, banyak para pendaki yang menjadikan lokasi ini sebagai tempat untuk mendirikan tenda. Apalagi, persediaan air di tempat itu juga cukup melimpah.

Sebutan lembah kijang itu sendiri dilakukan oleh para komunitas pecinta alam (PA). Konon, banyak binatang Kijang (Rusa, Red) mencari makan di kawasan lembah itu. Itu terjadi beberapa dasawarsa silam. Karena kebiasaan itu, lokasi itu akhirnya akrab disebut lembah kijang.

Selain lembah Kijang, lokasi itu juga akrab dengan sebutan lembah benteng. Itu karena di tempat itu, terdapat puing-puing sisa bangunan peninggalan zaman kerajaan Belanda. Lokasnya, tepat berada di tengah-tengah lembah itu.

Sayang, saat saya berkunjung ke sana, sisa-sisa bangunan itu hampir tak bisa dilihat karena tertutup rerumputan. Satu-satunya yang masih bisa dilihat adalah kolam air yang berada di sisi kiri kompleks bangunan utama. Meski sedikit tertutup rerumputan dan berlumut, bentuk bangunan asli itu masih bisa dilihat.

Memiliki lebar sekitar satu meter, dengan panjang sekitar empat meter. Dengan kedalaman sekitar dua meter. Meski sudah berumur puluhan –bahkan mungkin ratusan tahun- bangunan itu masih bisa berfungsi dengan baik. Air yang mengalir di kolam itu pun terlihat cukup jernih.

Tidak jelas bangunan apa itu sebenarnya. Namun, berdasar cerita yang berkembang, konon, di lokasi itu adalah basis peternakan orang-orang Belanda. Namun, ada juga menyebutnya sebagai gudang penyimpanan senjata para kompeni. Hanya sejarah yang bisa menjawabnya.

Berada di tempat itu memang terasa cukup mengasyikkan. Apalagi, pada jam-jam tertentu, kabut putih menyeliputi sekitar lembah. Dengan latar belakang puncak Arjuna, terasa kian menentramkan.

Masud, salah satu peserta rombongan menyatakan, suasana lebih menarik ketika bulan Juni-Juli. Sebab, pada rentang waktu tersebut, kawasan tersebut banyak dipenuhi bunga edelweiss. “Kebetulan, ini memang belum waktunya berbunga,” terangnya.

Selain kawasan lembah kijang, aktivitas penambangan belerang di kawasan puncak juga tetap menarik untuk dilihat. Hanya, agar tidak mengalami ganggungan pernapasan akibat menghirup asap belerang, ada beberapa hal yang harus diikuti.

Sediakan sapu tangan atau bahan lainnya yang bisa dipakai masker. Sebagian pendaki, biasanya memilih untuk menggunakan handuk kecil karena memiliki serat yang lebih padat. Itu saja? Tidak. Agar lebih aman, masker itu perlu dibasahi terlebih dulu dengan air. (Muhammad Asad)

Mendaki Puncak Welirang (Belerang)





Pagi itu (Jumat, 8/5) jam dinding menunjuk pukul 09. 00. Usai melapor kepada petugas di pintu masuk, pendakian ke puncak Welirang pun dimulai. Sejuk hawa pegunungan terasa menusuk tulang.

Ada tujuh orang yang ikut dalam perjalanan ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3. 156 diatas permukaan laut (dpl) itu. Selain saya, ada juga manager community development Yayasan Kaliandra, Fathurrohman, tiga mahasiswa Pecinta Alam (PA) Universitas Yudharta Pasuruan.

Juga ada Arno Subali, salah satu tokoh masyarakat Tretes, Prigen, serta seorang peserta rombongan lain.

Perjalanan berlangsung dengan penuh semangat. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, pendakian ini merupakan yang pertama kalinya. Karena itu, meski harus membawa perlengkapan yang cukup berat, kami cukup menikmatinya.

Ada tiga titik yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai pintu masuk ke puncak. Selain Tretes –yang kebetulan kami pilih sebagai lokasi start- para pendaki juga bisa melalui Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi. Atau juga melalui Yayasan Kaliandra, di Dusun Gamoh, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen.

Kebanyakan, para pendaki memilih Tretes sebagai pintu masuk. Termasuk kami. Meski memakan waktu sedikit lebih lama, namun, rutenya lebih mudah untuk ditempuh. Bahkan, bagi para pendaki pemula sekalipun.

Perjalanan kami lalui dengan penuh suka cita. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, ini merupakan pertama kalinya. Yang terbayang saat itu hanya keelokan puncak Welirang dengan hamparan warna hijau sejauh mata memandang. Membayangkan kepulan asap dari tambang belerang, kami pun ingin cepat-cepat sampai ke sana.

Hamparan kebun kopi yang banyak dijumpai di sepanjang jalan. Setengah jam berjalan, perjalanan akhirnya sempai di sebuah pos perbatasan. Yang menandai perbatasan hutan wilayah Perhutani dan kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.

Di bawah pos tersebut, adalah kawasan hutan wilayah Perhutani. Perusahaan plat merah yang diberi tugas untuk mengelola hutan. Di atasnya, adalah kawasan hutan Tahura. Selain pisang, hampir tak ada tanaman produktif di sana. Karena kawasan itu hanya berisi pepohonan lindung.

Dari tempat kami berdiri, panorama sekitar terasa begitu memesona. Terlebih, ketika kami mengarahkan pandangan ke lereng perbukitan. Kawasan pemukiman yang tampak dari tempat kami berdiri terlihat begitu kecil. Menimbulkan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.

Tiga jam lebih telah kami lewati. Perjalanan akhirnya sampai di kawasan gunung Limas. Yang berada tepat di ketinggian 1.530 dpl. Rombongan kemudian menyempatkan diri beristirahat sebentar. Sekedar menikmati pemandangan di bawah sekitar pegunungan yang mulai terlihat elok.

Dari kejauhan, suara gesekan dedaunan yang tertiup angin menimbulkan kesan tersendiri. Sayup-sayup, suaranya terdengar riuh. Seperti suara Kereta Api (KA) yang sedang berjalan. Karena itu, tidak sedikit pula yang mengaitkan suara itu dengan hal-hal yang berbau mitos.

Pukul 13. 00, rombongan kemudian sampai di kop-kopan. Tempat ini biasa dipakai oleh para pendaki untuk berisitirahat serta mengisi air untuk perbekalan selama perjalanan.

Yang menarik, adalah nama yang dipakai untuk menyebut tempat itu, kop-kopan. Nama itu merujuk pada kebiasaan para pendaki yang biasa ngokop (minum dengan menggunakan dua telapak tangan) di mata air yang ada di lokasi setempat.

Karena kebiasaan itulah, orang-orang kemudian menyebutnya sebagai kop-kopan (tempat ngokop, Red). “Biasanya, begitu sampai di sini, para pendaki sukanya langsung ngokop,” ujar Arno Subali, tokoh masyarakat Tretes yang ikut dalam rombongan itu.

Siang itu, cuaca terlihat cukup cerah. Memanfaatkan sebuah batu besar yang ada di tengah lokasi itu, Radar Bromo mendapati pemandangan yang sungguh menarik. Di sudut kiri sebelah utara, tampak puncak gunung Penanggungan yang terlihat gagah. Sementara awan putih terlihat bergulung-gulung di atas kepala.

Setengah jam kemudian, perjalanan menuju puncak Welirang pun dilanjutkan. Dari titik ini, jalanan terasa semakin berat. Batu-batu seukuran kepala manusia memenuhi jalan selebar tiga meter itu.

Sebenarnya, ada juga cara lebih cepat yang bisa ditempuh untuk melakukan perjalanan ke puncak ini. Yakni, dengan menumpang kendaraan pengakut belerang (jeep). Namun, pada hari Jumat, mereka biasanya libur. Termasuk, aktivitas penambangan belerang itu.

Itu pun, pendaki yang menumbang harus memiliki keberanian tinggi. Kondisi jalan yang berbatu dengan kondisi sekeliling jalan berupa jurang, memincu adrenalin dari para penumpang. Karena itu, mereka yang anti dengan goncangan kendaraan, lebih memilih untuk berjalan kaki.

Hampir delapan jam lamanya perjalanan kami lalui. Tepat pukul 18. 00, rombongan akhirnya sampai di pondokan. Suasana begitu sepi. Hanya ada suara burung dan binatang alas yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Sehari-hari, lokasi itu biasanya selalu ramai. Setidaknya, terdapat 30-an penambang belerang yang sehari-harinya tinggal di tempat itu. Seminggu sekali, tiap malam Jumat, mereka baru ‘turun gunung’. Sekedar nyambangi keluarga, atau recharger perbekalan.

Keberadaan kompleks pondokan itu sendiri cukup menarik. Terdiri dari sekitar 15 unit rumah dengan model yang cukup sederhana. Selain ukurannya yang tak seberapa tinggi, atap bangunannya juga terbuajt dari ilalang. Ukuran bangunan yang rata-rata kecil dan tak seberapa tinggi itu sengaja didesain agar udara di dalam lebih hangat.

Tanpa terasa, hari telah berganti gelap. Suasana terasa begitu sunyi. Malam itu, rombongan kemudian memutuskan untuk mendirikan tenda di lembah Kijang. berinisiatif mendirikan tenda di kawasan lembah Kijang. Sebuah tanah lapang yang ada di tenggara lokasi pondokan.

Usai beristirahat beberapa jam, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Welirang. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke puncak dengan ketinggal 3.156 dpl itu.

Tiga jam kemudian, kami pun akhirbnya sampai. Rasa lelah, capek yang sempat meliputi diri terasa sirna begitu sampai di lokasi yang berupapa tanah cadas itu. Suasananya begitu memesona. Tebaran warga kuning keemasan terlihat memudar di langit sebelah Timur.

Sebentar kemudian, sang surya mulai terlihat mengintip. Panorama menjadi lebih eksotis. Pancaran sinar matahari yang terpantul dari perairan selat Madura membuat suasana terasa lebih indah. Membuat dada berdecak kagum.

Bahkan, terasa lebih indah dibanding ketika menikmati sunrise dari lokasi lain. Terlebih, dari lokasi itu, para pendaki juga bisa menikmati pucuk pegunungan yang berada di sekitar.

Seperti Penanggungan, Ringgit, hingga deretan pegunungan Bromo-Semeru. Gunung-gunung itu bisa dilihat dengan jarak pandang yang cukup dekat. Atau Arjuna. Yang bisa ditempuh hanya dengan perjalanan sekitar empat jam dari puncak Welirang.

Berada di puncak Welirang, dengan ketinggian yang mencapai 3156 dpl memang seperti berada di belahan dunia lain. Sebuah dunia yang mampu memberikan keindahan, ketentraman dan kenyamanan.

Namun, kondisi itu tidak bisa berlangsung lama. Terik matahari yang mulai menyengat. Ditambah asap belerang yang mulai terasa menyesakkan, kami pun terpaksa kembali turun. Apalagi, saat itu, sebagian dari rombongan mulai terserang gejala mountainsigness.

Sebuah kondisi yang diakibatkan oleh menipisnya kadar udara di puncak pegunungan. Serangan itu biasa terjadi di atas gunung yang memiliki ketinggian di atas 3000 dpl.

Para pendaki yang terserang penyakit ini, biasanya akan mengalami kantuk hebat. Biasanya, dengan asumsi kecapekan, banyak diantara pendaki yang tidak menyadari hal itu. “Dan, jika itu dibiarkan, mereka (pendaki) bisa sampai kehilangan kesadaran,” terang Masud. (*)

Senin, 18 Mei 2009

Saribuah Murbei, Minuman Penyambut ke Tretes




WELLCOME DRINK: Slamet Supryadi menunjukkan minuman sirup dari sari buah Murbei.


UNTUK kalangan warga Tretes, nama Slamet Supryadi sudah cukup dikenal. Selain karena kesehariannya menjadi penjaga rumah peristirahatan milik PTPN X, juga karena terobosannya mengenalkan minuman berbahan Murbei. Sebuah varietas yang lebih banyak dikenal sebagai tanaman pakan ulat penghasil sutra.
Ditemui kemarin (18/5), ayah tiga anak ini tampak santai. Saat itu, ia sedang duduk-duduk di sebuah ruang rumah peristirahatan PTPN X. Tepatnya yang ada di kawasan Watuadem, Kelurahan Pecalukan, Kecamatan Prigen.

Banyaknya tanaman yang tumbuh di sekitar rumah membuat suasana terasa begitu asri. Apalagi, saat itu ucara tak terasa begitu panas. Slamet, panggilan akrabnya, yang mengetahui wartawan koran ini datang, bergegas bangkit. “Mari silakan,” ujar Slamet sembari beranjak dari tempat duduknya.

Senyumnya ramah. Memakai kaus warna putih dipadu warna merah, Slamet kemudian mengajak ke lahan di samping kiri rumah. “Ini salah satu kebunnya,” terangnya. Dia menunjuk hamparan tanaman Murbei di lahan berukuruan 100x25 meter itu.

Bagi Slamet, kesibukannya membuat menu minuman berbahan Murbei ini sebenarnya sebuah kebetulan. Berawal keinginannya mencari tamabahan penghasilan. “Maklum, kalau cuma mengandalkan gaji, jelas tidak cukup,” ujarnya.

Untuk itu, Slamet berusaha mencari terobosan. Lima batang pohon Murbei yang saat itu sedang berbuah ia panen. Bersama sang istri, Yulis Khaflika, ia membuatnya menjadi sari buah hingga menghasilkan beberapa kantong plastik.

Oleh Slamet, minuman tersebut kemudian ia jajakan. Semua sekolah yang ada di sekitar Prigen ia masuki. Namun, dewi Fortuna agaknya belum berpihak kepadanya. Alih-alih ada yang membeli. Hingga sepekan lamanya, aktivitas Slamet itu justru mengundang tawa dan cibiran dari masyarakat sekitar.

Namun Slamet tak patah semangat. Menurutnya, lemahnya sambutan pasar itu lantaran mereka belum mengetahui manfaat sari buah Murbei. Apa yang dipikirkannya itu ternyata terbukti. Memasuki pekan kedua, barang dagangannya mulai laku. Bahkan, saat itu, hampir 125 bungkus minuman sari buah Murbei buatannya itu laku terjual.

Melihat kondisi itu, Slamet kian semangat. Lahan yang ada di samping vila PTPN lantas ia penuhi dengan tanaman Murbei. Bahkan untuk mengembangkan usahanya itu, ia nekat menjual rumah untuk menambah bibit tanaman Murbei.

Saat ini, sedikitnya, sudah ada 500 pohon Murbei yang ia kelola. Ratusan pohon Murbei itu tersebar di beberapa tempat. Ia juga menjalin kerjasama dengan petani setempat. “Ada sebagian yang kami tanam di lahan milik warga,” terang ayah dari Aris Fatoni, Afif, dan Aslam tersebut.

Slamet sendiri mengakui, prospek bisnis ini sebenarnya prospektif. Apalagi sejauh ini, respon pasar juga sangat bagus. Setidaknya, saat ini beberapa daerah telah menjadi pangsa pasar produk sari buah buatannya itu. Diantaranya Semarang, Jakarta dan Bandung.

Tak hanya untuk minuman. Setidaknya melalui tangan Slamet, buah yang kontur fisiknya mirip buah Strawberry itu juga ia jadikan menjadi sirup dan selai. Hasilnya, cukup lumayan.

Kemarin, saya sempat mencicipi rasa minuman yang hasil buatan Slamet. Ternyata, rasanya memang menyegarkan. Asam-manis. “Kalau dibanding Strawberry, aromanya memang kalah. Tapi rasanya lebih kuat,” ujar lelaki 45 tahun itu memberi penjelasan.

Itu belum khasiat medis yang terkandung dalam minuman tersebut. Sebab, berdasar data yang ada, buah Murbei memiliki banyak kandungan gizi. Bahkan, menurut ahli pengobatan tradisional China, buah tersebut berkhasiat memelihara fungsi ginjal dan jantung.

Yang menarik, tidak perlu cara khusus membuat minuman khas tersebut. Usai dipetik dari pohon, buah yang telah dipanen kemudian ditaburi garam. Itu untuk mengusir bakteri atau ulat yang dimungkinkan menempel pada buah tersebut. Beberapa jam kemudian, buah yang telah dibersihkan itu kemudian di-blender.

Perbandingannya, satu kilo Murbei dicampur air sekitar tiga liter. Hasilnya, kemudian direbus. Nah, dalam kondisi panas itulah, air sari buah itu dimasukkan ke dalam botol kemasan yang juga dalam kondisi panas. Itu agar minuman dalam botol tersebut tetap awet.

Slamet sendiri berharap, keberadaan minuman itu bisa dijadikan sebagai welcome drink menyambut setiap tamu yang datang ke Tretes. Karena itu, pihaknya akan menawarkan produk buatannya itu ke beberapa hotel yang ada di kawasan Tretes. “Sementara ini, baru Kaliandra yang kami pasok,” jelasnya. (Mochammad Asad)

Amang Mulachela, Potret Lemahnya Jaminan Hidup Atlet Berprestasi (2-Habis)



MAU PENSIUN:Amang Mulachela, saat menjalani aktivitasnya sebagai petugas TPR di kawasan terminal Pandaan.


Sebuh foto berukuran postcard tampak di sela deretan piala yang berdiri di atas meja di sudut ruang tamu. Meski tampak kusam, samar masih terlihat gambar dua sosok yang saling berjabat tangan.
Tak lain, gambar sosok yang berdiri lebih rendah adalah Amang. Sementara, dalam posisi yang lebih tinggi adalah mantan Presiden RI HM. Soeharto. Menurut Amang, foto itu diambil tahun 1976. Tepat menjelang keberangkatannya mengikuti lomba atletik di Pakistan.
“Waktu itu, kami memang sempat pemitan ke presiden sebelum berangkat,” terang Amang menceritakan momen dalam foto itu. Selain para atlet yang ikut dikirim, acara pamitan itu juga dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara kala itu. Termasuk, mendiang istri mantan presiden.
Selain belasan keping medali yang ada di laci almamri, juga ada sebuah sepeda motor Suzuki FR yang menjadi kenangan atas keberangkatan Amang ke Pakistan itu. Satu-satunya sepeda motor Amang itu merupakan hadiah yang dari mantan bupati Pasuruan Mulyono.
Sepeda motor inilah, yang saat ini menjadi saksi bisu atas sukses yang pernah diraih Amang. Dengan sepeda motor itu pula, Amang melakoni rutinitasnya sebagai pegawai negeri golongan 2C di pos TPR kawasan terminal Pandaan.
Jeliteng sendiri bukan satu-satunya mantan bupati Pasuruan yang memberikan apresiasi atas kiprah Amang di olah raga adu cepat lari itu. Pada tahun 1978, menjelang keberangkatannya di ajang Sea Games yang berlangsung di Singapura, Amang kembali mendapat hadiah.
Kali ini, hadiah berupa emas seberat 20 gram itu diberikan oleh pengganti Mulyono, Jeliteng Sunyoto. “Waktu itu, memang cukup lumayan,” kata Amang sembari mencoba mengingat-ingat peristiwa itu.
Keberangkatan ke Singapura itu sendiri bukan hanya kedua kalinya bagi Amang. Tapi, sekaligus yang terakhir kalinya di ajang internasional. Sebab, setelah penampilannya ini, praksis, Amang sekali tampil. Itu pun di ajang PON X yang digelar di Jakarta.
Saat itu, prestasi Amang pun mulai meredup. Itu dibuktikan dengan pencapaiannya yang sebagai juara tiga dan dua di dua nomor yang ia ikuti. “Saya kan sudah mulai tua. Jadi, kalah dengan yang muda-muda,” selorohnya.
Perlahan, predikat sebagai atlet lari jarak jauh itu pun mulai ditinggalkan oleh Amang. Apalagi, menyusul prestasinya yang kian menurun, induk cabang organisasi yang menaunginya pun tidak memanggilnya lagi. “Setelah itu, saya tidak pernah lagi ikut lomba sampai sekarang,” katanya.

Nah, saat ini, di sela kesibukannya sebagai pegawai Dishub, Amang menyempatkan diri untuk melatih. Itu ia lakukan bukan semata sebagai ajang transformasi ilmu. Khususnya, di dunia balap lari. Tapi, juga untuk mencari tambahan penghasilan.
Di tengah perbincangan itu, sebuah peristiwa diluar dugaan terjadi. Faishol, 20, putra pertama Amang tiba-tiba meraung dan diikuti kejang-kejang hebat. Karuan saja, suasana yang tadinya tenang mendadak sedikit gaduh. Amang yang semula duduk kursi ruang tamu pun bergegas menghampiri.
Sekitar10 menit pemandangan itu terjadi. Usai dipijat di bagian kaki, kejang-kejang yang dialami Faishol pun sedikit mereda. “Maaf jadi seperti ini,” ujar Amang sembari sesekali meniupkan udara ke arah bagian perut putranya itu.
Di sela upayanya menenangkan putranya itu, menurut Amang, kelainan itu sudah dialami putranya sejak enam tahun terakhir. Ia mengalami gangguan saraf semenjak ibu yang juga istri pertama Amang meninggal. “Ndak tahu. Sejak ibunya meninggal, dia jadi seperti ini. Mungkin terlalu mikir,” katanya.
Amang sendiri sebenarnya sudah berupaya untuk mengobati penyakit putranya itu. Termasuk, dengan membawanya ke tempat pengobatan alternatif. Namun, upaya itu belum banyak membuahkan hasil. “Kalau pas lagi pusing, pasti begini,” imbuhnya.
Sebagai jalan terakhir, ia pun memberinya obat yang diperoleh dari dokter. Sehari dua kali. Dengan harga obat Rp 4 ribu per butir. Beruntung. Ia memiliki askes. Sehingga, ia pun tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan putranya itu. “Kalau tidak ada askes ya berat juga,” jelas Amang.
Apa yang terjadi pada diri putranya itu sebagai sebuah ironi. Mengingat, bakat Amang sebagai seorang pelari itu kini mengalir pada diri putranya itu. Hal itu dibuktikan dengan dereten piala yang diraih Faisol dari berbagai event kejuaran lari yang diikutinya. Baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Sayang, peluang untuk mengikuti jejak sang ayah itu terkendala dengan kondisi Faisol itu. “Mau bagaimana lagi. Ya harus bersabar,” ujar Amang yang mengaku tiga bulan lagi sudah memasuki masa pensiun ini.

Sekilas, dari yang pengamatan koran ini, untuk seorang mantan pelari nasional, kondisi Amang memang cukup sederhana. Statusnya sebagai pegawai petugas TPR terminal menjadi satu-satunya sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

Memang, saat masih aktif sebagai pelari dulu, dirinya mendapat uang pembinaan. Sebesar Rp 24 ribu per bulan. Itu pun, harus diambil ke kantor KONI di Surabaya. Namun, setelah prestasinya menurun, uang pembinaan itu tak lagi diterimanya.(Mochammad Asad)

Senin, 11 Mei 2009

Amang Mulachela, Potret Lemahnya Jaminan Hidup Atlet Berprestasi (1)


KENANGAN: Amang, bersama koleksi medali yang pernah diperolehnya.

UNTUK ukuran mantan atlet nasional, rumah Amang Malecha tergolong sederhana. Selain ukurannya relatif kecil, hanya 4 x 10 meter, kondisi rumahnya juga tak lebih baik dari rumah di sekitarnya.

Saat dikunjungi beberapa waktu lalu, (20/4), Amang terlihat santai. Seminggu lalu, pria kelahiran Pasuruan 9 Juli 1953 ini mendapat giliran masuk pagi. Sebagai pegawai di lingkungan Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Pasuruan. Tepatnya, di bagian penarikan retribusi di kawasan terminal Pandaan.

Selain di rumah, sehari-harinya Amang memang berada di terminal. Seminggu masuk pagi, seminggu masuk siang. Begitu seterusnya. “Jadi, seminggu ke depan saya masuk siang,” terang Amang yang kini berusia 56 tahun itu.

Deretan piala tampak berjajar di sebuah meja kecil yang ada di sudut ruang tamu. Piala-piala itu bukan milik Amang. Tapi milik putra pertamanya, Faishol, 20, atas prestasinya di sejumlah ajang kejuaraan atltetik. Itu pun baru sebagian saja. Sisanya diletakkan di atas almari yang ada di ruang tengah.

Piala-piala itulah barangkali satu-satunya yang menarik dilihat di ruang tamu itu. Selebihnya, hanya ada satu set meja kursi yang mulai kusam. Serta satu almari dan seperangkat alat elektronik. Seperti televisi 17 inch dan VCD player yang tampak kurang terawat.

Di almari itulah, Amang menyimpan beberapa medali yang pernah diraihnya selama mengikuti kejuaraan. Baik tingkat nasional maupun internasional. Terdiri dari 13 medali emas, 2 medali perunggu dan 1 medali perak.

Saat ditunjukkan, saya sempat sedikit kaget. Sekilas, medali-medali itu seperti bukan barang berharga. Selain sudah terlepas dari gantungannya, kepingan medali itu terlihat lapuk. Udara yang lembab juga membuatnya tertutup jamur.

Padahal, dulu jelas perlu kerja keras untuk mendapatkan keeping-keping medali tersebut. “Makanya, sekarang jadi seperti ini,” ujar Amang sembari menyodorkan beberapa keping koleksi medalinya itu. Warnanya memang sudah kusam tertutup jamur.
Amang sendiri lahir dari sebuah keluarga tergolong besar. Dari tujuh saudaranya, ia paling bungsu. “Sekarang tinggal empat, termasuk saya,” ungkapnya menyebut para saudaranya itu. Tiga saudaranya itu kini tinggal di Bangil, Malang dan Pandaan.

Ketertarikan Amang dengan olah raga adu lari cepat itu sebenarnya terlihat sejak kecil. Selain menyehatkan, olah raga itu juga dinilainya lebih praktis dan murah. Artinya, tidak perlu alat lain untuk melakukan olah raga ini.

Namun, Amang sama sekali tak mengira ketertarikannya pada jenis olah raga itu akan mengantarkannya menjadi atlet nasional. Itu bermula keikutsertaannya mengikuti lomba balap lari. Mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kabupaten.

Yang membanggakan, hampir di setiap perlombaan yang diikutinya itu, Amang meraih juara pertama. Termasuk, ketika mengikuti seleksi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) yang digelar Kabupaten Pasuruan, 1962 silam. Saat itu, Amang berhasil mengungguli peserta yang lain dalam beradu lari cepat.

Perlahan. Karir Amang sebagai pelari cepat di nomor 5.000 dan 10.000 meter itu pun kian moncer. Berbagai prestasi di ajang seleksi yang digelar di beberapa kota, seperti Malang dan Kediri berhasil ia sabet.

Akhirnya, prestasi itu mulai dilirik Pengurus Daerah Komite Olah Raga Nasional (KONI) Jatim. Amang kemudian dipanggil mewakili Jatim di ajang pesta olahraga terbesar di negeri ini, Pekan Olahraga Nasional (PON) VII yang digelar di Surabaya, tahun 1969.

Meski baru pertama kali tampil di level nasional, prestasi Amang tak terlalu mengecewakan. Putra pasangan Salim Mulachela dan Mahnunah itu berhasil menyabet juara di dua nomor lari yang diikutinya di event tersebut. Yakni di nomor 5.000 dan 10.000 meter.

Sukses yang diraih Amang pada PON VII itu membuat KONI kepincut. Pada PON berikutnya, pria yang menikah dua kali ini kembali dipanggil mewakili Jatim. Kali ini, untuk tampil pada event yang digelar di Jakarta.

Pada kejuaraan yang digelar tahun 1973 itu, lagi-lagi prestasi gemilang diraih Amang. Dia berhasil menyumbangkan dua medali untuk Jatin. Satu medali emas di nomor 10.000 meter dan satu medali perak di nomor lari 5.000 meter.

Penyelenggaraan PON IX adalah puncak bagi Amang mengukir prestasi. Dua medali emas dari nomor yang sama berhasil dipersembangkan Amang pada event yang kembali digelar di Ibukota Jakarta itu. “Dua-duanya dapat juara satu,” jelas pria yang rambutnya sudah mulai memutih ini.

Yang menarik, prestasi itu diraih Amang dilalui dengan penuh keunikan. Sebab, diantara sekian atlet yang tampil di lomba itu, hanya amang yang tidak memakai alas kaki. Dan ternyata, kondisi tak bersepatu itu memang ia lakukan sejak ketika ia masih kecil. Sebelum terjun sebagai pelari profesional.

“Mau bagaimana, wong memang tidak terbiasa,” jelasnya sembari tersenyum. Bukan hanya itu. Keunikan lainnya adalah kebiasaan menggunakan ujung kaki sebagai tumpuan saat berlari, dari pada menggunakan tumit. Tidak mengherankan. Oleh beberapa pelatihnya dulu, Amang termasuk sosok pelari dengan penuh keistimewaan. (Muhammad Asad/bersambung)

Senin, 04 Mei 2009

Ke Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Pegunungan Arjuna (3-Habis)


MEMESONA: Jalan setapak menuju kawasan Tampuono
Hembusan angin yang perlahan terasa begitu sejuk. Suara-suara binatang alas yang sesekali terdengar saling bersahutan. Diselingi aroma dupa yang harum semerbak, membuat suasana di sekitar Tampuono menjadi lebih nyaman.
Tak mengherankan, banyak pengunjung yang menjadikan tempat ini sebagai jujugan untuk mencari ketenangan. Suroso, warga asal Jepara, Jawa Tengah yang sempat ditemui sebelumnya adalah salah satu dari mereka. ‘Hanya’ untuk mencari ketenangan itu, dirinya rela melewatkan waktunya selama lima bulan berada di sana.
Apalagi, selain petilasan Eyang Sekutrem, juga ada beberapa lokasi yang juga bisa dipercaya sebagai wasilah untuk mencari ketenangan itu. Diantaranya, petilasan Eyang Abi Yoso. Yang terletak di sisi belakang kawasan Tampuono. Tepat di belakang bangunan pendapa.
Petilasan ini berbeda dengan petilasan yang dijumpai sebelumnya. Selain lokasinya yang berada sedikit lebih tinggi dari Eyang Sekutrem, dari segi bangunannya juga lebih besar. Perbedaan lainnya juga terletak pada model petilasan yang menyerupai kuburan. Lengkap dengan dua batu di kedua sisi ujungnya.
Berada di tempat ini memang terasa mengasyikkan. Selain jauh dari keramaian kota, juga karena suasananya yang memang cukup nyaman. Apalagi, banyak rumah-rumah kosong yang bisa dipakai sebagai tempat tinggal. Jumlahnya mencapai empat rumah.
Meski hanya terbuat dari kayu, ukuran rumah yang berjajar itu cukup besar. Sekitar 4x7 meter. Lengkap dengan amben yang biasa dipakai tempat tidur.

“Lebih, kalau hanya untuk menampung 10 orang,” ujar Andry, salah satu warga yang ikut menemani berkeliling. Biasanya, di rumah-rumah inilah, pengunjung tinggal selama beberapa hari bahkan pekan atau bulan.
Tepat di depan rumah-rumah itu, adalah pendapa Tampuno. Dengan ukuran yang nyaris sama dengan altar dan pendapa yang ada di Goa Onto Boego. Di pendapa inilah, para pengunjung kerap menggelar upacara ritual.
Tidak mengherankan, jika desain bangunannya pun sama dengan yang ada di Onto Boego itu. Selain berlantaikan keramin, tepat di tengah ruangan, terdapat empat batu yang ditanam membantuk empat simpul persegi. Sementara di tengahnya, tampak sejumlah peralatan untuk membakar dupa.
Kondisi itu benar-benar menambah kesan mistis tempat tersebut. Apalagi, di beberapa sudut Tapuono, tampak beberapa patung arca. Termasuk, sebuah arca dewa yang beraa di belakang petilasan Eyang Abi Yoso. Para pengunjung asal Bali biasa menjadikan arca ini sebagai jujug an saat berada di tempat ini.
Puas mengelilingi kawasan Tampuono, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Candi Lesung. Rutenya, dari petilasan Eyang Sekutrem, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke kanan. Melewati cela batang-batang pohon yang sudah berumur puluhan tahun.
Namun, pengunjung harus hati-hati. Selain banyak bebetuan licin karena tertutup lumut, terdapat sejumlah persimpangan yang memungkinkan pengunjung kesasar. Jalan yang kea rah kiri, menuju ke kawasan puncak Arjuna. Sementara yang ke kanan, menuju candi yang dimaksud.
Setengah jam berselimut semak-semak belukar, koran ini akhirnya sampai di lokasi candi. Meski tak ada papan tulisan yang menjelaskan nama lokasi itu, orang-orang menyebutkan sebagai Candi Lesung.
Sayang, struktur bangunan candi ini hampir habis. Kalau pun ada yang tersisa, adalah lempengan batu berbentuk persegi yang ditata hingga membentuk altar. Bisa jadi, dulunya ini adalah fondasi candi sebelum akhirnya seperti sekarang ini.
Satu-satunya yang mungkin dijadikan penanda akan keberadaan candi ini adalah batu panjang berukuran sekitar 1,5 meter dengan kondisi permukannya yang cekung. Lesung? Ya. Karena lesung inilah, candi ini dinamai candi lesung.
Tak jauh dari lokasi candi ini, berdiri sebuah bangunan (baca gubuk, Red) yang sangat sederhana. Terdiri dari beberapa pilar kayu dengan dinding dan atap bangunan yang terbuat dari seng. Seperti halnya rumah-rumah yang ada di Tampuono, bangunan ini juga biasa dimanfatakan pengunjung untuk menginap.
Yang menarik, adalah keberadaan tanah lapang yang berjarak sekitar 30 meter sebelah Timur dari lokasi candi. Dari lokasi itulah, pengunjung bisa menikmati sebuah pemandangan yang cukup menakjubkan.
Iringan-iringan awan putih yang cukup tebal di kawasan puncak Arjuna terasa begitu dekat. Belum lagi sejauh mata memandang, hamparan tanaman terlihat menghijau dari arah kaki pegunungan.
Dari tempat itu pula, koran ini bisa melihat situs-situs bersejarah. Diantaranya, Gumandar, Candi Lepek, Candi Semar, Makutoromo. Ini merupakan struktur di serambi muka dari halaman berikutnya lokasi itu merupakan komplek bangunan halaman muka dari halaman berikutnya.
Konon, tak kurang dari 20 arca dwarapala, yaitu penjaga bangunan suci berdiri dibangun di lokasi itu. Arca-arca itu diletakkan dengan posisi berurutan berbaris ke belakang ke sebuah titik yang lebih tinggi.
Dengan jarak pandang yang cukup jauh, kedua tempat itu terlihat cukup jelas. Dibutuhkan waktu satu setengah jam dari koran ini berdiri untuk sampai ke sana. (Muhammad As'ad)

Minggu, 03 Mei 2009

Ke Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Arjuno (2)



TENANG: Kawasan Tampuono (dilihat dari atas). Loksinya yang tenang membuat sebagian pengunjung merasa nyaman berada di sana


MENDUNG tipis terlihat menggelayut di langit. Setengah jam berada di komplek goa Onto Boego, wartawan koran ini melanjutkan perjalanan ke Tampuono. Jaraknya, sekitar dua kali perjalanan dari pemukiman terakhir warga ke Onto Boego.

Rimbunan semak-semak tumbuh liar di sepanjang jalan yang dilalui. Ini berbeda dengan perjalanan menuju ke Onto Boego yang lebih banyak didominasi kebun kopi. Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas pertanian sumber penghasilan warga setempat.

Hamparan kebun kopi itu bukan milik warga sendiri. Melainkan, milik Perhutani yang proses penggarapannya dilakukan masyarakat sekitar hutan. Hasil pengelolaan itu dibagi, antara pengelola lahan dengan Perhutani.

Jauh di sebelah kiri, hamparan kebun teh milik PTPN XII terlihat menghijau. Area yang masuk Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang itu juga terlihat cukup luas. Serta menyejukkan mata, sekaligus jadi obat penawar penat perjalanan.

Beberapa saat kemudian sampailah langkah di sebuah tanjakan berbatu. Bisa dibilang, ini merupakan tanjakan paling tajam dalam perjalanan ke Tampuono. Di sinilah, terdapat bongkahan batu membentuk kursi. Ukurannya cukup besar, bisa dipakadi duduk 2-3 orang.

Bentuknya yang menyerupai kursi itulah, membuat warga menyebutnya sebagai batu singgasana para raja. Konon, para raja-raja besar kerajaan kuno di Jawa Timur pernah menduduki batu yang terbuat dari jenis batuan andesit itu.

Tak mengherankan pula, bagi sebagian pengunjung, keberadaan batu itu dinilai sebagai benda keramat hingga harus disucikan. Itu bisa dilihat dari dekat batu singgasana tersebut. Sisa-sisa dupa yang habis dibakar dan bunga, terlihat berserakan di atas batu itu.

Sesekali, terdengar gemericik suara air dari pipa saluran air bersih yang ada di sebelah kiri jalan. Perjalanan pun berlanjut. Dan tak terasa, usai melewati jalanan setapak yang dibuat menyerupai tangga, akhirnya sampai juga di Tampuono.
Suasana teduh menyambut di kawasan itu. Sejuk hawa dingin segar terasa menyentuh kulit.

Meski mendekati tengah hari, suasana masih terasa seperti pagi. Deretan pohon berumur puluhan bahkan mungkin ratusan tahun, berjajar cukup rapat.
Diikuti rapatnya dedaunan yang seperti tak menyisakan celah terik mentari. Desiran angin sepoi, benar-benar jadi membuat letih penat perjalanan jadi sirna. Suasananya benar ayem tenteram. Tak heran, bila konon banyak raja-raja zaman dulu yang singgah ke tempat ini.

Saat itu, tampak lelaki paro baya sedang duduk santai. Namanya Suroso. Memakai baju warna gelap serta udeng warna sama, pria asal Jepara, Jawa Tengah ini sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam. “Monggo Mas,” sapanya.

Suroso mengaku sudah cukup lama berada di Tampuono. Sehingga banyak warga dusun terakhir yang cukup akrab dengan dirinya. Waktu lima bulan berada di tempat sepi seperti itu bukanlah masa yang sebentar. Namun Suroso mengaku masih cukup betah.
“Nanti kalau sudah waktunya baru pulang,” ujarnya. Kira-kira kapan? Suroso enggan menjelaskan kapan waktunya pulang itu tiba. Hanya dia mengisyaratkan, saat itu akan tiba ketika apa yang dicarinya di tempat tersebut sudah didapatkan.

Suroso bukanlah satu-satunya pengunjung yang menghabiskan waktunya berhari atau berbulan di Tampuono. Selain dirinya, beberapa pengunjung lain juga melakukan hal serupa. “Biasanya untuk lelakon,” terang Andry, warga yang saat itu menemani koran ini.

Setidaknya, ada beberapa tempat yang biasa dipakai para pengunjung untuk menjalani lelakon itu. Diantaranya, petilasan Eyang Sekutrem yang jaraknya hanya beberapa meter dari pintu masuk kawasan Tampuono.

Konon, pengunjung yang ingin mendapatkan berkah, harus singgah di petilasan ini lebih dulu. Jika tidak, apa yang jadi permintaannya bakal sulit terwujud. Dari luar, petilasan itu tak ubahnya bangunan makam tokoh atau sesepuh yang dituakan.

Bangunannya seperti yang biasa dijumpai di desa-desa kebanyakan. Berdinding beton, dengan lantai dan lapisan dinding yang terbuat dari keramik. Yang menarik, lapisan keramik di dinding itu ternyata masih baru.

Padahal sebelumnya, saat koran ini berkunjung pertama kali, dinding bangunan tersebut hanya berupa beton. Itupun terlihat agak rapuh. Ternyata beberapa waktu lalu, seorang warga keturunan asal Surabaya telah merenovasinya. “Dia yang mendanai pembangunan petilasan ini,” terang Andry. (muhammad asad/bersambung)

Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Arjuno (1)


KERAMAT: Sebelum ke Tampuono, pengunjung akan menemui Goa Ontoboego. Sebagian pengunjung kerap membakar dupa di lokasi ini


Lereng Gunung Arjuna yang ada di wilayah Kabupaten Pasuruan ternyata memiliki sejumlah tempat keramat. Salah satunya adalah Tampuono. Bagaimana kondisi tempat yang dikeramatkan tersebut?


KONON sebagian masyarakat dahulu masih percaya, kawasan lereng gunung yang masuk Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi itu jadi tempat bersemayam para dewa. Terutama, kala agama Hindui masih menjadi ajaran yang dianut mayoritas masyarakat Jawa.

Setidaknya, jejak kepercayaan itu masih bisa dilihat hingga sekarang. Beberapa lokasi yang ada di kawasan Gunung Arjuna jadi dikenal sebagai tempat sakral (keramat). Tidak mengherankan, pada waktu tertentu, banyak warga yang mengunjungi lokasi-lokasi tersebut untuk menggelar ritual.

Terutama bagi mereka yang masih lekat dengan tradisi Kejawen. Biasanya, puncak kedatangan warga itu terjadi pada malam pergantian tahun Jawa. Atau yang akrab dengan sebutan malam Syuro. Ribuan warga dipastikan berkunjung ke lokasi itu. Sekedar meminta berkah, atau sekedar mengenang arwah para leluhur.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke Tampuono. Kunjungan ini merupakan kedua kalinya sejak 2006 silam. Nyaris tidak ada yang berubah dibanding saat saya berada di sana kali pertamanya. Wangi khas aroma dupa yang habis dibakar sesekali tercium.

Perjalanan ke Tampuono memang cukup melelahkan. Selain jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga, sekitar lima kilometer, ruas jalanan yang dilalui juga sedikit menanjak. Butuh waktu sekitar dua jam, untuk bisa sampai ke sana.

Awalnya dari Purwosari, tepatnya masuk ke jalan Pegadaian. Biasanya, rute ini bisa ditempuh dengan naik motor ojek. Usai menempuh sekitar 7 kilometer baru sampai di Desa Tambaksari. Tepatnya di Dusun Tambakwatu. Nah, dari pemukiman terakhir inilah para pengunjung harus berjalan kaki untuk sampai di Tampuono.

Sebenarnya, ada juga alternatif lain yang bisa dipakai untuk sampai lebih cepat ke sana. Yakni menggunakan motor trail atau jeep. Meski tidak bisa langsung sampai ke lokasi, tapi paling tidak bisa sampai ke Goa Onto Boego. Letaknya, di pertengahan antara pemukiman warga dengan Tampuono.

Dan, saat itu saya lebih memilih berjalan kaki. Selain memang tidak ada kendaraan yang bisa dipakai, itung-itung juga untuk olahraga. Dan bagi yang tidak pernah ke sana, akan lebih baik untuk lebih cermat. Maklum, sepanjang jalan yang dilalui, terdapat beberapa persimpangan yang memungkinkan bisa tersesat.

Beberapa saat kemudian, koran ini akhirnya sampai di komplek Goa Onto Boego. Lubang gua ini terlihat cukup sempit. Hanya cukup seukuran tubuh manusia. Karena itu, jarang pengunjung yang berani masuk ke sana. Apalagi, tempat itu memang dikenal keramat.

Satu-satunya yang biasa masuk ke sana adalah juru kunci. “Biasanya, kalau pas malam Syuroan ada yang masuk,” terang Andri, warga setempat. Beberapa bangunan permanen melengkapi komplek gua itu.

Tepat di depan pintu masuk gua, ada bangunan cungkup dengan arsitektur Jawa. Juga ada altar berkeramik yang berada di sisi kiri cungkup gua itu. Ukurannya cukup luas, sekitar 6,5x6,5 meter.

Oleh mereka yang datang, altar ini biasa dipakai ritual menaruh sesajen pada tiap malam Syuro. Juga ada satu bangunan cungkup lainnya dengan ukuran lebih kecil. Di depannya, tampak batu besar yang disebut-sebut sebagai miniatur Gunung Arjuna.
Lalu bagaimana dengan mereka yang ingin menggelar ritual di tempat itu? Tidak perlu khawatir. Sebab, di komplek itu telah disediakan perlengkapan untuk melakukan ritual. Seperti membakar dupa atau yang lain.

Dan itu terlihat di kedua bangunan cungkup itu. Tampak sisa-sisa batang dupa yang baru dibakar. Aromanya semerbak bercampur aduk dengan bunga yang ditaburkan para pengunjung di bangunan tersebut. “Tiap hari selalu saja ada yang kemari,” jelas warga lainnya.

Ada lagi sebenarnya satu bangunan lain. Meski panjangnya lebih luas dibanding beberapa bangunan yang lain, namun arsitekturnya lebih sederhana. Itu bisa dilihat dari dindingnya yang terbuat dari kayu semata. Tapi juga lantainya yang tidak dikeramik.

Bangunan inilah yang biasa dimanfaatkan pengunjung atau para pendaki Gunung Arjuna untuk bersitirahat. Karena itu, pada bangunan itu juga dilengkapi tempat tidur dari tanah yang telah dicor.

Bentuknya menyerupai ranjang yang memanjang. “Tapi jarang yang isitirahat di sini karena masih di bawah,” ungkap Andry. Mereka lebih memilih beristirahat di Tampuono. Atau tempat peristirahatan lain yang banyak tersebar di lereng gunung tersebut. muhammad asad/bersambung)

Senin, 06 April 2009

Mbah Moyo, Potensi Wisata yang Terlupakan



ELOK: Pemandangan air terjun Mbah Moyo, di Dusun Krajan, Desa Palangsari, Kecamatan Puspo cukup memesona. Sayang, keberadaannya belum banyak dikenal


Air terjun Mbah Moyo berada di Dusun Krajan, Desa Palangsari, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan. Jika dari atas permukaan air laut (dpl), ketinggiannya diperkirakan mencapai sekitar 1500 meter.
Meski secara administrative berada di wilayah Kecamatan Puspo, lokasinya justru lebih dekat dengan pusat kota Kecamatan Tutur (dh. Nongkojajar). Ini karen desa di mana air terjun itu berada, berbatasan langsung dengan desa di pinggiran wilayah Kecamatan Tutur.

Lantran alasan itu pula, tidak mengherankan jika sebagian pengunjung memilih melalui Nongkojajar untuk ke sana. Selain lebih sedikit menghemat waktu, akses jalan ke air terjun itu juga yang lebih mudah dibanding melalui Puspo.

Minggu (4/5) lalu, saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke air terjun tersebut. Sejuk hawa dingin khas pegunungan terasa menyapa begitu menginjakkan kaki di air terjun yang berada di kawasan pegunungan Bromo-Tengger itu. Saat itu, gumpalan mendung tipis yang berarakan terlihat memayung.

Kesan sebagai lokasi yang belum banyak terjamah oleh ‘orang luar’ begitu terasa. Selain sesekali terdengar suara binatang alasan, juga karena hamparan semak-semak yang subur menghijau. Terlebih, masih banyak tanaman bunga liar yang tumbuh di sekitar lokasi.

Jika dari Jalan Raya Surabaya-Malang, dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana. Yang setengah jamnya adalah untuk berjalan kaki dari kampong terakhir menuju lokasi. Maklum.

Lokasinya yang berada di balik perbukitan tidak memungkinkan untuk dicapai dengan menggunakan kendaraan. Apalagi, jaraknya pun cukup lumayan. Sekitar satu kilometer. Dengan kondisi jalan setapak yang dipenuhi semak belukar, serta sedikit berbatu.
Oleh warga, kondisi itu dimanfaatkan untuk mendapatkan rezeki tambahan. Membuka jasa penitipan sepeda motor bagi para pengunjung. Ongkosnya pun relaltif murah. Hanya seribu rupiah sekali titip.

Untuk sampai ke lokasi air terjun, pengunjung harus ekstra hati-hati. Sebab, akses jalan menuju ke sana masih berupa jalan setapak dan berada di lereng pegunungan. Selain banyak dipenuhi rumput liar, sebagian jalan juga berbatu. Hanya cukup untuk dilewati satu orang.

Belum lagi palung (jurang) pegunungan di sebelah sisi kiri jalan yang terlihat cukup curam. Saking curamnya, sampai-sampai, dari jalan setapak itu, tak terlihat dasar palung tersebut. Kondisi itu memaksa pengunjung untuk tetap memperhatikan tanah yang mereka injak agar tidak terperosok.

Kehati-hatian juga mutal diperlukan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya longsor dadakan. Sebab, akses jalan masuk yang memang berada di lereng pegunungan itu agaknya rentan terhadap longsor. Ini bisa dilihat dari banyaknya titik bekas longsor tersebut.

Tak hanya terjadi di beberapa bagian tebing yang berada di sisi kanan atas jalan. Tapi, juga di jalan yang dilewati. Bahkan, saat itu, saya juga mendapati beberapa titik jalan yang mulai retak.

“Kalau pas musim hujan begini, jarang warga yang ke sana. Takut kena longsor,” ujar salah satu warga yang ditemui sebelumnya. Alasan itu agaknya tidak terlalu berlebihan. Apalagi, kondisinya memang cukup mengkawatirkan. Dengan curah hujan yang masih cukup tinggi seperti ini, sangat mungkin terjadi longsor sewaktu-waktu.

Setengah jam berjalan, saya akhirnya sampai di lokasi yang dimaksud. Air yang terjun membentuk sebuah garis tinggi menjulang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara kemeresek saat air yang terjun itu menyentuh tanah. Suaranya terdengar cukup khas.
Konon, jika terik matahari dalam keadaan sempurna, percikan air yang terbawa angin terlihat berwarna-warni. Sayang, keindahan itu tidak sempat saya nikmati lantaran saat itu langit cukup mendung.

Di banding air terjun yang ada di Kabupaten Pasuruan lainnya, seperti Kakek Bodo, Putuk Truno atau Baung, air terjun yang satu ini terlihat lebih menarik. Selain karena air yang terjun lebih lama lantaran tebingnya lebih tinggi, lokasi tempat air jatuh juga lebih luas.

Tak banyak pepohonan yang tumpuh di sekitarnya. Hanya ada hamparan runmput liar yang ketinggiannya tak lebih dari setengah meter. Kondisi itu memungkinkan bagi pengunjung yang ingin menginap dan mendirikan tenda di sana.

Di sela menikmati kemolekan air terjun itu, perhatian saya sempat tertuju pada gundukan tanah dengan dua batu nisan yang tertanam di ujung kedua sisi gundukan itu. Kuburan? Ya. Menurut warga sekitar, gundukan yang panjangnya tak lebih dari dua meter itu adalah makam Mbah Moyo. Tokoh yang namanya diabadikan untuk identitas air terjun tersebut.

Tidak jelas ihwal siapa sebenarnya jasad yang tertanam di balik gundukan tanah itu. Namun, berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, ia merupakan leluhur desa yang konon hidup di zaman sebelum era penjajahan belanda.
Selain makam Mbah Moyo, sebenarnya, ada satu lagi makam yang ada di kawasan air terjun itu. Satu makam lainnya berada di pertengahan air terjun. Memanfaatkan tebing lintasan air terjun yang membentuk kursi. Yang menarik, makam tersebut tidak ditandai dengan batu nisan, tapi dengan sebatang pohon.

Berada di tempat itu memang terasa berbeda. Selain kondisinya alamnya yang memang masih terlihat asli, juga karena suasananya yang cukup tenang. Sebuah kondisi yang memiliki nilai jual tinggi jika mampu dikelola secara maksimal. (*)


Selasa, 10 Maret 2009

Dibalik Pembuatan Buku Katalog Terbesar yang Berhasil Meraih Rekor Muri


REKOR: Tampak kesibukan beberapa pelukis saat membuat buku katalog terbesar
Dibalik Pembuatan Buku Katalog Terbesar yang Berhasil Masuk Musium Rekor Indonesia (Muri)
Sempat Pesimis, Seminggu Lembur
Berkat buku catalog terbesar yang diciptakannya, Jupri Abdullah kembali berhasil mencatatkan namanya di MURI. Bagaimana suka-duka pembuatan buku yang menelan biaya jutaan rupiah itu?

MOCHAMMAD AS’ AD., Pasuruan
Di kalangan para pekerja seni di Kabupaten Pasuruan, nama Jupri Abdullah cukup familiar. Bukan hanya karena sosoknya yang memang dikenal suka humor. Tapi, juga karena ide-idenya yang cukup kreatif dan inovatif.
Sejumlah penghargaan, baik dari lembaga swasta maupun pemerintah yang pernah diraihnya cukup menjadi bukti atas kreativitas tersebut. Terakhir, adalah penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI) atas karyanya, buku katalog terbesar dengan ukuran 2x2 meter.
Sabtu (7/3) lalu, Senior Manager (SM) MURI Paulus Pangka berkesempatan langsung hadir di The Taman Dayu untuk menyerahkan penghargaan itu. Selain Jupri, penghargaan itu juga diberikan kepada para pihak yang ikut mendukung pembuatan buku tersebut.
Diantaranya, The Taman Dayu City of Festival, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pasuruan. Penghargaan itu diberikan usai dilakukan verifikasi faktual atas ukuran buku yang telah dibuat itu.
Bagi Jupri, penghargaan itu bukan pertama kalinya. Sedikitnya, sudah empat penghargaan serupa juga pernah ia dapatkan. Semua penghagaan itu diraihnya berkat karya-karyanya terdahulu.
Diantaranya, lukisan kaligrafi terkecil yang dibuat dengan ukuran 0,5x0,5 sentimeter, pada tahun 2003. Ini merupakan penghargaan yang diraih Jupri untuk kali pertama. Berikutnya, adalah berkat konvoi lukisan sepanjang 100 kilometer yang digelar 2004.
Dua penghargaan itu ternyata tidak cukup bagi Jupri untuk berimprovisasi. Setahun berikutnya, pelukis yang sempat merasakan kerja sebagai jurnalis ini membuat inovasi melukis dengan media saribuah nanas. Berkat lukisannya ini pula dirinya meraih penghargaan MURI untuk ketiga kalinya.
Praktis, penghargaan atas buku catalog terbesar itu merupakan yang keempat kalinya bagi Jupri. “Sebenarnya ada satu lagi, tapi penyerahannya belum,” ungkap Jupri yang kemarin mengaku kurang fit karena kecapekan itu.
Buku itu sendiri berisi tentang data-data para pelukis yang ikut dalam pameran lukis ‘Wajah Capres 2009’ yang digelar hingga 17 Maret nanti. Meliputi judul, ukuran, serta media yang dipakai para pelukisnya. Totalnya, ada 106 nama pelukis yang ditulis di buku tersebut.
Tentu, sukses itu tidak diraih Jupri seorang diri. Ada banyak pihak yang dengan susah payah terlibat dalam proses pembuatan buku itu. Mereka adalah Pier dan Leman. Dua pekerja seni asal Batu dan Malang; juga Doyok, seorang perupa asal Tanggulangin, Sidoarjo.
Melalui kerja keras orang-orang inilah buku catalog terbesar itu akhirnya tercipta. “Saya tidak bisa membayangkan kalau misalnya tidak ada kawan-kawan ini,” ungkap Jupri yang enggan menyebut keberhasilannya itu sebagai buah atas kerja kerasnya seorang diri.
Ide pembuatan buku terbesar itu sendiri bisa merupakan spontanitas. Pasalnya, semula, pemecahan rekor itu dilakukan dengan mengarak 14 lukisan terbaik Capres Award 2009 di wilayah Kabupaten Pasuruan. Namun, karena pertimbangan lain, rencana itu pun dibatalkan.
Belakangan, setelah berdiskusi dengan beberapa seniman yang lain, Jupri kemudian memutuskan untuk membuat buku tersebut. Itu pun, tidak bisa dilakukan dengan serta merta. Minimnya anggaran dana membuat Jupri berpikir ulang untuk merealisasikan gagasannya.
Apa boleh buat. Rencana itu harus tetap dilakukan. Apalagi, pemecahan rekor itu nantinya juga dimaksudkan untuk menandai dibukanya Taman Seni (Pasar Seni) Jatim yang berlokasi di komplek The Taman Dayu: City of Festivals.
Tepat 10 hari sebelum jadwal yang telah ditentukan, berbagai kebutuhan akan pembuatan buku itu mulai didatangkan. Adalah Doyok, perupa asal Tanggulangin yang bertugas membeli kain kanvas yang akan dipakai sebagai lembaran buku.
Meski sempat kesulitan, Doyok akhirnya mendapatkan kain kanvas itu. Kain yang biasa dipakai sebagai media lukisan itu ia beli di kawasan pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya. “Di sekitar sini juga ada. Tapi, kalau dalam jumlah banyak kan sulit,” ujar Doyok.
Gerak cepat pun dilakukan. Jupri dan beberapa para perupa yang lain membagi tugas. Dengan dibantu Pier, Doyok kemudian memotong kain sepanjang 50 meter itu menjadi beberapa bagian. Masing-masing potongan dibuat dengan ukuran empat meter persegi. Panjang dan lebar masing-masing berukuran dua meter.
Sementara keduanya sibuk memotong kain kanvas itu, Leman sibuk dengan tugas yang lain. Mencampur cat yang akan dipakai warna dasar isi buku. Oleh Leman, kain kanvas yang sudah dipotong itu kemudian dicat dengan warna coklat. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, prose situ dilakukan hingga beberapa kali.
Jupri sendiri juga tak kalah sibuknya. Desain yang akan dipakai sebagai isi buku belum selesai digarap. Padahal, hari pelaksanaan saat itu tinggal lima hari lagi. Kondisi itu memaksa Jupri untuk kerja lembur. Apalagi, beberapa perlengkapan yang lain seperti cetak undangan, baliho juga belum selesai dicetak.
Tak jarang, kondisi itu memaksa Jupri dkk, jarang pulang ke rumah. Kesibukan untuk menyiapkan pembuatan buku itu telah memaksa mereka untuk menginap di sekretariat. “Apa boleh buat, wong harinya sudah cukup mepet,” jelas Jupri.
Hari-hari menjelang launching buku katalog terbesar itu cukup menguras tenaga dan pikiran. Hampir tak ada waktu bagi Jupri dkk untuk sekedar beristirahat dengan normal. Kalau pun ada, itu pun tak lebih dari tiga jam. Begitu matahari terbit, mereka kembali disibukkan dengan kegiatan untuk menyelesaikan buku itu.
Sempat terjadi sebuah insiden kecil pada proses penggarapan buku itu. Ceritanya, buku itu dibuat dengan menempelkan semua cetakan lukisan beserta pemiliknya. Gambar lukisan di sebelah kiri, sementara sang pelukis ditempel di sebelah kanan.
Nah, saat itulah, gambar para pelukis sempat tertukar. Beruntung. Sebelum dilaunching, kekeliruan itu akhirnya bisa dibenahi. “Mungkin waktunya terlalu mepet jadi agak kacau,” ujar Jupri.
Pengalaman yang sedikit berbeda juga dilontarkan Pier, salah satu kolega Jupri asal Batu. Hari-hari menjelang pelaksanaan launching itu merupakan saat yang cukup melelahkan. Bagaimana tidak, dengan usianya yang sudah mencapai 59, ia rela ikut lembur untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Kendati demikian, dirinya merasa bersyukur. Kerja-keras yang dilakukannya membuahkan hasil. Buku katalog terbesar yang berisi 25 halaman dengan ketebalan sekitar 15 sentimeter itu berhasil dibuat. “Wah, selama menjadi seniman, ini yang paling berat,” ujar perupa yang gemar memakai topi ini.
Setali tiga uang. Penjelasan yang sama juga dilontarkan Leman dan Doyok. Keduanya menolak bahwa pembuatan buku buku katalog terbesarnya itu hanya sekedar mencari sensasi.
Pembuatan itu itu, kata mereka, dilakukan untuk menyambut pembukaan pasar seni terbesar Jatim. “Potensi seni di Jatim cukup besar. Sayang, kalau tidak didukung dengan sarana yang memadai,” jelasnya. Mereka berharap, keberadaan pasar seni itu nantinya mampu menjadi wadah baru para seniman di Jatim untuk menuangkan kreativitasnya. (*)

Lagi, Raih Rekor MURI



PASURUAN-Pelukis Jupri Abdullan kembali berhasil mencatatkan namanya di Museum Rekor Indonesia (MURI). Ini menyusul keberhasilannya membuat buku catalog terbesar dengan ukuran 2x2 meter.
Kemarin, penyerahan penghargaan itu dilakukan langsung oleh Senior Manager (SM) MURI Paulus Pangka di sela pembukaan pameran ‘Wajah Capres 2009’ di Little Shanghai, The Taman Dayu City of Festivals, Pandaan. “Belum ada catalog yang dibuat dengan ukuran sebesar ini,” kata Paulus di sela penyerahan penghargaan itu.
Acara itu sendiri dimulai sekitar pukul 12. 30. Diawali dengan sajian dari grup musik akustik asal Pandaan, proses penyerahan itu disaksikan oleh ratusan pengunjung. Selain Jupri, pemberian penghargaan juga dilakukan kepada para pihak yang dinilai mendukung pembuatan karya itu.
Diantarnya, Pemkab Pasuruan, The Taman Dayu City of Festivals, serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Kemarin, mereka juga mendapat penghargaan yang sama dari lembaga nirlaba itu.
Sejatinya, kegiatan yang berlangsung hingga sore itu dijadwalkan dihadiri langsung oleh Gubernur Jatim Ir. Soekarwo. Namun, karena terjadi banjir di kawasan Beji, rencana itu pun batal. “Beliau sidak ke daerah banjir,” ujar salah satu panitia menjelaskan.
Pemecahan rekor MURI itu sendiri merupakan bagian dari rangkaian pembukaan Taman Seni Jatim yang rencananya dibangun di kompleks The Taman Dayu. Ini sekaligus menandai dibukanya pameran lukis ‘Wajah Capres 2009’ yang dijadwalkan berlangsung hingga 17 Maret mendatang.
Sekitar 100 seniman dari seluruh Jatim dan tamu undangan ikut hadir dalam kegiatan itu. Diantaranya, General Manager (GM) The Taman Dayu Hendra WA, ketua umum DPP PAN Sutrisno Bachir, serta para pejabat Muspika lainnya.
Dalam sambutannya kemarin, GM The Taman Dayu Hendra WA menyambut baik kegiatan kemarin. Menurutnya, kegiatan itu merupakan bagian dari upaya membangkitkan kembali dunia di Jatim, khususnya Kabupaten Pasuruan. “Ini terobosan menarik untuk menggairahkan kembali seni di Jatim,” jelasnya.
Selama ini, masyarakat kerap menjadikan Yogyakarta, sebagai kiblat seni. Padahal, potensi yang sama juga banyak didapati bertebaran di Jatim. Karena itu, dirinya berharap agar kegiatan kemarin bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan kembali aktivitas seni di Jatim.
Kegiatan itu sendiri berlangusung cukup meriah. Diawali dengan penampilan grup band akustik asal Pandaan, acara kemudian dilanjutkan dengan melukis on the spot The Taman Dayu. Sekitar 25 pelukis turun ambil bagian pada sesi yang digelar di depan kantor The Taman Dayu itu.

Termasuk, Ahmad Syaifuddin Al-madjid, peserta pameran termuda di pameran kali ini. Yakni, 12 tahun. Sesi ini berlangsun sekitar satu 30 menit. Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan yang dilakukan langsung oleh MURI, yang dalam hal ini diwakili langsung oleh Pulus Pangka.
Bagi Jupri, penghargaan yang diraihnya itu bukan pertama kalinya. Sejumlah penghargaan serupa juga pernah ia raih. Masing-masing untuk kategori lukisan terkecil, konvoi lukisan.

Kamis, 05 Februari 2009



DITUNDA: Atas banyaknya masukan agar panita memeperpanjang masa penyerahan lukisan, panita 'Capres Awards 2009' akhirnya memutuskan untuk menunda event tersebut.
Pagelaran pameran ‘Capres Award 2009’ yang semula direncanakan digelar awal Ferbuari nanti ditunda. Ini menyusul adanya permintaan dari beberapa pelukis luar kota yang meminta kepada Jupri art Gallery (JaG) untuk memperpanjang masa pendaftaran pameran itu.
Kepastian penundaan pameran yang digelar pertama kalinya itu dibenarkan Jupri Abdullah. “Setelah mempertimbangkan berbagai masukan, acara ini kita putuskan untu ditunda,” kata lelaki yang juga penggagas acara itu.
Menurut Jupri, beberapa pertimbangan itu diantaranya, para peserta yang masih belum memenuhi kuota. Dari 101 lukisan yang diharapkan masuk, baru sekitar 47 karya yang sudah terkumpul. Beberapa lukisan yang masuk itu merupakan karya dari para pelukis. Mulai dari Pasuruan, Malang, Batu, Sidoarjo, Padang hingga Makassar.
Seperti diketahui, menyambut pemilu 2009, JaG membuat gawe akbar bertaraf nasional. Yakni, dengan menggelar pameran ‘Wajah Capres 2009’. Semula, kegiatan itu yang direncanakan digelar di Little Shanghai, The Taman Dayu, Pandaan itu berlangsung selama 10 hari. Terhitung 1-10 Februari mendatang.

Belakangan, pihak penyelenggara memutuskan untuk menunda acara itu. Jupri menjelaskan, kegiatan itu merupakan bentuk apresiasi dari para seniman menyambut pesta demokrasi terakbar di negeri ini, pemilu 2009. “Yang pasti, ini apolitis,” terang perupa berambut gondrong ini.
Sementara itu, ekspekstasi tinggi ditunjukkan sejumlah seniman menyambut kegiatan itu. Ini bisa dilihat dari beberapa daerah asal lukisan yang masuk. Selain pelukis Jatim, beberapa pelukis yang tinggal di seberang pulang, seperti Makassar dan Sumatera juga turut ambil bagian untuk meramaikan kegiatan itu.
Jupri sendiri mengaku mendapat banyak masukan dari beberapa pelukis lainnya. “Intinya, mereka minta dikasih waktu untuk buat lukisan agar bisa ikut berpartisipasi,” jelas Jupri. Karena itulah, pihaknya memutuskan untuk menunda acara tersebut.
Sejauh ini, diantara beberapa lukisan yang telah masuk, wajah SBY dan Megawati serta Gus Dur (Abdurrahman Wahid) cukup banyak mendominasi. Setidaknya, ada 3-4 lukisan yang menggambarkan wajah mereka.
Yang mengejutkan, adalah wajah Sri Sultan Hamengku Buwono dan Prabowo Subiato. Setidaknya, beberapa karya yang masuk juga menggambarkan wajah mereka. “Tolong ini jangan diartikan macam-macam. Ini hanya sekedar kreativitas kawan-kawan seniman,” terang Jupri. (panitia)

Minggu, 18 Januari 2009

Lukisan Mulai Berdatangan



MULAI TIBA: Tampak salah satu petugas sekretariat sibuk menata lukisan yang tiba di skretariat.

Penyelenggaraan pameran 'Wajah Capres 2009' tinggal menunggu hari. Sebelas hari lagi, even yang melibatkan sekitar 100 pelukis itu bakal dihelat. Di Little Shanghai, The Taman Dayu: City of Festivals.

Kemarin, mendekati pelaksanaan kegiatan, sejumlah pekukis mulai mengirimkan karyanya. Setidaknya, dari catatan penulis, sekitar 10 karya telah dikirimkan para pelukis ke kantor sekretariat. Rata-rata, lukisan yang terkirim dibuat dengan ukuran 1x1 meter.

"Kita harapkan, semua lukisan sudah terkirim sebagaimana jadwal yang telah disusun," kata penggagas acara Jupri Abdullan. Yakni, 25 Januari mendatang. Atau, sekitar lima hari lagi dari sekarang.

Diantara beberapa lukisan yang telah dikirim adalah lukisan karya Pier, salah satu perupa asal Batu, Malang. Kedatangannya ke kantor sekretariat itu didampingi beberapa perupa lainnya.

Selanjutnya, seluruh lukisan yang terkumpul nantinya akan dipilih 14 lukisan terbaik. Selain diarah di seluruh ruas jalan di Kabupaten Pasuruan, 14 lukisan terpilih itu juga akan dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Senin, 12 Januari 2009

Seniman 'Serba Bisa' Sujiwo Tejdo Siap Ramaikan


Even pameran lukis 'wajah capres 2009' yang digelar Jupri art Gallery (JaG) tak ingin dilewatkan begitu saja oleh Sujiwo Tejo. Seniman serba bisa yang khas dengan rambut gondrongnya ini menyatakan siap hadir untuk meramaikan kegiatan tersebut.

Kepastian kehadiran Sujiwo itu dibenarkan oleh Jupri Abdullah. Direktur Jag yang juga penggagas kegiatan itu. "Kemarin saya kontak dan beliau menyatakan siap untuk datang," kata Jupri.

Oleh Jupri, kedatangan Kang Tejo itu tak disiakan begitu saja. Setidaknya, untuk membuat acara yang dihelat 1-10 Februari mendatang, Jupri telah memintanya mengisi dialog bertajuk 'Obrolan Capres Bareng Sujiwo Tedjo'. Kenapa Kang Tedjo? "Saya yakin, dengan caranya menyampaikan, acara ini akan lebih menarik," ujarnya.

Menurut rencana, sesi ini akan dihelat pada hari ke-tujuh sejak pameran yang digelat di Little Shanghai, The Taman Dayu: City of Festivals. Yakni, 7 Februari mendatang.

Di kalangan seniman, sosok yang satu ini sudah tak asing lagi. Pria kelahiran Jember 31 Agustus 1962 itu kini lebih akrab dikenal sebagai dalang kontemporer. Kontribusinya di bidang seni dan kebudayaan yang dinilai anti kemapanan kian melambungkan namanya.

Berikut rangkaian acara selama pameran 1-10 Februari 2009, nanti:
1. Minggu, 1 Ferbuari : Konvoi 14 lukisan terbaik sepanjang 121 Km (mengelilingi Pasuruan) untuk memecahkan rekor MURI. Acara ini sekaligus menandai dibukanya pameran yang digelar di Little Shanghai, The Taman Dayu: City of Festivals
2. Selasa, 3 Februari : Lomba mirip wajah tokoh
3. Kamis, 5 Februari : On The Spot: Melukis Bersama Faber Castell
4. Sabtu, 7 Februari : Obrolan Capres bersama Sujiwo Tedjo
5. Minggu, 8 Ferbuari : Diskusi seni dengan tema "Songsong Pasar Seni Rupa Dunia"
6. Selasa, 10 Februari: Lomba lukis se-Jatim tingkat SMP/SMA/Umum

Panitia