Senin, 25 Mei 2009

Mendaki Puncak Welirang (Belerang)





Pagi itu (Jumat, 8/5) jam dinding menunjuk pukul 09. 00. Usai melapor kepada petugas di pintu masuk, pendakian ke puncak Welirang pun dimulai. Sejuk hawa pegunungan terasa menusuk tulang.

Ada tujuh orang yang ikut dalam perjalanan ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3. 156 diatas permukaan laut (dpl) itu. Selain saya, ada juga manager community development Yayasan Kaliandra, Fathurrohman, tiga mahasiswa Pecinta Alam (PA) Universitas Yudharta Pasuruan.

Juga ada Arno Subali, salah satu tokoh masyarakat Tretes, Prigen, serta seorang peserta rombongan lain.

Perjalanan berlangsung dengan penuh semangat. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, pendakian ini merupakan yang pertama kalinya. Karena itu, meski harus membawa perlengkapan yang cukup berat, kami cukup menikmatinya.

Ada tiga titik yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai pintu masuk ke puncak. Selain Tretes –yang kebetulan kami pilih sebagai lokasi start- para pendaki juga bisa melalui Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi. Atau juga melalui Yayasan Kaliandra, di Dusun Gamoh, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen.

Kebanyakan, para pendaki memilih Tretes sebagai pintu masuk. Termasuk kami. Meski memakan waktu sedikit lebih lama, namun, rutenya lebih mudah untuk ditempuh. Bahkan, bagi para pendaki pemula sekalipun.

Perjalanan kami lalui dengan penuh suka cita. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, ini merupakan pertama kalinya. Yang terbayang saat itu hanya keelokan puncak Welirang dengan hamparan warna hijau sejauh mata memandang. Membayangkan kepulan asap dari tambang belerang, kami pun ingin cepat-cepat sampai ke sana.

Hamparan kebun kopi yang banyak dijumpai di sepanjang jalan. Setengah jam berjalan, perjalanan akhirnya sempai di sebuah pos perbatasan. Yang menandai perbatasan hutan wilayah Perhutani dan kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.

Di bawah pos tersebut, adalah kawasan hutan wilayah Perhutani. Perusahaan plat merah yang diberi tugas untuk mengelola hutan. Di atasnya, adalah kawasan hutan Tahura. Selain pisang, hampir tak ada tanaman produktif di sana. Karena kawasan itu hanya berisi pepohonan lindung.

Dari tempat kami berdiri, panorama sekitar terasa begitu memesona. Terlebih, ketika kami mengarahkan pandangan ke lereng perbukitan. Kawasan pemukiman yang tampak dari tempat kami berdiri terlihat begitu kecil. Menimbulkan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.

Tiga jam lebih telah kami lewati. Perjalanan akhirnya sampai di kawasan gunung Limas. Yang berada tepat di ketinggian 1.530 dpl. Rombongan kemudian menyempatkan diri beristirahat sebentar. Sekedar menikmati pemandangan di bawah sekitar pegunungan yang mulai terlihat elok.

Dari kejauhan, suara gesekan dedaunan yang tertiup angin menimbulkan kesan tersendiri. Sayup-sayup, suaranya terdengar riuh. Seperti suara Kereta Api (KA) yang sedang berjalan. Karena itu, tidak sedikit pula yang mengaitkan suara itu dengan hal-hal yang berbau mitos.

Pukul 13. 00, rombongan kemudian sampai di kop-kopan. Tempat ini biasa dipakai oleh para pendaki untuk berisitirahat serta mengisi air untuk perbekalan selama perjalanan.

Yang menarik, adalah nama yang dipakai untuk menyebut tempat itu, kop-kopan. Nama itu merujuk pada kebiasaan para pendaki yang biasa ngokop (minum dengan menggunakan dua telapak tangan) di mata air yang ada di lokasi setempat.

Karena kebiasaan itulah, orang-orang kemudian menyebutnya sebagai kop-kopan (tempat ngokop, Red). “Biasanya, begitu sampai di sini, para pendaki sukanya langsung ngokop,” ujar Arno Subali, tokoh masyarakat Tretes yang ikut dalam rombongan itu.

Siang itu, cuaca terlihat cukup cerah. Memanfaatkan sebuah batu besar yang ada di tengah lokasi itu, Radar Bromo mendapati pemandangan yang sungguh menarik. Di sudut kiri sebelah utara, tampak puncak gunung Penanggungan yang terlihat gagah. Sementara awan putih terlihat bergulung-gulung di atas kepala.

Setengah jam kemudian, perjalanan menuju puncak Welirang pun dilanjutkan. Dari titik ini, jalanan terasa semakin berat. Batu-batu seukuran kepala manusia memenuhi jalan selebar tiga meter itu.

Sebenarnya, ada juga cara lebih cepat yang bisa ditempuh untuk melakukan perjalanan ke puncak ini. Yakni, dengan menumpang kendaraan pengakut belerang (jeep). Namun, pada hari Jumat, mereka biasanya libur. Termasuk, aktivitas penambangan belerang itu.

Itu pun, pendaki yang menumbang harus memiliki keberanian tinggi. Kondisi jalan yang berbatu dengan kondisi sekeliling jalan berupa jurang, memincu adrenalin dari para penumpang. Karena itu, mereka yang anti dengan goncangan kendaraan, lebih memilih untuk berjalan kaki.

Hampir delapan jam lamanya perjalanan kami lalui. Tepat pukul 18. 00, rombongan akhirnya sampai di pondokan. Suasana begitu sepi. Hanya ada suara burung dan binatang alas yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Sehari-hari, lokasi itu biasanya selalu ramai. Setidaknya, terdapat 30-an penambang belerang yang sehari-harinya tinggal di tempat itu. Seminggu sekali, tiap malam Jumat, mereka baru ‘turun gunung’. Sekedar nyambangi keluarga, atau recharger perbekalan.

Keberadaan kompleks pondokan itu sendiri cukup menarik. Terdiri dari sekitar 15 unit rumah dengan model yang cukup sederhana. Selain ukurannya yang tak seberapa tinggi, atap bangunannya juga terbuajt dari ilalang. Ukuran bangunan yang rata-rata kecil dan tak seberapa tinggi itu sengaja didesain agar udara di dalam lebih hangat.

Tanpa terasa, hari telah berganti gelap. Suasana terasa begitu sunyi. Malam itu, rombongan kemudian memutuskan untuk mendirikan tenda di lembah Kijang. berinisiatif mendirikan tenda di kawasan lembah Kijang. Sebuah tanah lapang yang ada di tenggara lokasi pondokan.

Usai beristirahat beberapa jam, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Welirang. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke puncak dengan ketinggal 3.156 dpl itu.

Tiga jam kemudian, kami pun akhirbnya sampai. Rasa lelah, capek yang sempat meliputi diri terasa sirna begitu sampai di lokasi yang berupapa tanah cadas itu. Suasananya begitu memesona. Tebaran warga kuning keemasan terlihat memudar di langit sebelah Timur.

Sebentar kemudian, sang surya mulai terlihat mengintip. Panorama menjadi lebih eksotis. Pancaran sinar matahari yang terpantul dari perairan selat Madura membuat suasana terasa lebih indah. Membuat dada berdecak kagum.

Bahkan, terasa lebih indah dibanding ketika menikmati sunrise dari lokasi lain. Terlebih, dari lokasi itu, para pendaki juga bisa menikmati pucuk pegunungan yang berada di sekitar.

Seperti Penanggungan, Ringgit, hingga deretan pegunungan Bromo-Semeru. Gunung-gunung itu bisa dilihat dengan jarak pandang yang cukup dekat. Atau Arjuna. Yang bisa ditempuh hanya dengan perjalanan sekitar empat jam dari puncak Welirang.

Berada di puncak Welirang, dengan ketinggian yang mencapai 3156 dpl memang seperti berada di belahan dunia lain. Sebuah dunia yang mampu memberikan keindahan, ketentraman dan kenyamanan.

Namun, kondisi itu tidak bisa berlangsung lama. Terik matahari yang mulai menyengat. Ditambah asap belerang yang mulai terasa menyesakkan, kami pun terpaksa kembali turun. Apalagi, saat itu, sebagian dari rombongan mulai terserang gejala mountainsigness.

Sebuah kondisi yang diakibatkan oleh menipisnya kadar udara di puncak pegunungan. Serangan itu biasa terjadi di atas gunung yang memiliki ketinggian di atas 3000 dpl.

Para pendaki yang terserang penyakit ini, biasanya akan mengalami kantuk hebat. Biasanya, dengan asumsi kecapekan, banyak diantara pendaki yang tidak menyadari hal itu. “Dan, jika itu dibiarkan, mereka (pendaki) bisa sampai kehilangan kesadaran,” terang Masud. (*)

Tidak ada komentar: