
MAU PENSIUN:Amang Mulachela, saat menjalani aktivitasnya sebagai petugas TPR di kawasan terminal Pandaan.
Sebuh foto berukuran postcard tampak di sela deretan piala yang berdiri di atas meja di sudut ruang tamu. Meski tampak kusam, samar masih terlihat gambar dua sosok yang saling berjabat tangan.
Tak lain, gambar sosok yang berdiri lebih rendah adalah Amang. Sementara, dalam posisi yang lebih tinggi adalah mantan Presiden RI HM. Soeharto. Menurut Amang, foto itu diambil tahun 1976. Tepat menjelang keberangkatannya mengikuti lomba atletik di Pakistan.
“Waktu itu, kami memang sempat pemitan ke presiden sebelum berangkat,” terang Amang menceritakan momen dalam foto itu. Selain para atlet yang ikut dikirim, acara pamitan itu juga dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara kala itu. Termasuk, mendiang istri mantan presiden.
Selain belasan keping medali yang ada di laci almamri, juga ada sebuah sepeda motor Suzuki FR yang menjadi kenangan atas keberangkatan Amang ke Pakistan itu. Satu-satunya sepeda motor Amang itu merupakan hadiah yang dari mantan bupati Pasuruan Mulyono.
Sepeda motor inilah, yang saat ini menjadi saksi bisu atas sukses yang pernah diraih Amang. Dengan sepeda motor itu pula, Amang melakoni rutinitasnya sebagai pegawai negeri golongan 2C di pos TPR kawasan terminal Pandaan.
Jeliteng sendiri bukan satu-satunya mantan bupati Pasuruan yang memberikan apresiasi atas kiprah Amang di olah raga adu cepat lari itu. Pada tahun 1978, menjelang keberangkatannya di ajang Sea Games yang berlangsung di Singapura, Amang kembali mendapat hadiah.
Kali ini, hadiah berupa emas seberat 20 gram itu diberikan oleh pengganti Mulyono, Jeliteng Sunyoto. “Waktu itu, memang cukup lumayan,” kata Amang sembari mencoba mengingat-ingat peristiwa itu.
Keberangkatan ke Singapura itu sendiri bukan hanya kedua kalinya bagi Amang. Tapi, sekaligus yang terakhir kalinya di ajang internasional. Sebab, setelah penampilannya ini, praksis, Amang sekali tampil. Itu pun di ajang PON X yang digelar di Jakarta.
Saat itu, prestasi Amang pun mulai meredup. Itu dibuktikan dengan pencapaiannya yang sebagai juara tiga dan dua di dua nomor yang ia ikuti. “Saya kan sudah mulai tua. Jadi, kalah dengan yang muda-muda,” selorohnya.
Perlahan, predikat sebagai atlet lari jarak jauh itu pun mulai ditinggalkan oleh Amang. Apalagi, menyusul prestasinya yang kian menurun, induk cabang organisasi yang menaunginya pun tidak memanggilnya lagi. “Setelah itu, saya tidak pernah lagi ikut lomba sampai sekarang,” katanya.
Nah, saat ini, di sela kesibukannya sebagai pegawai Dishub, Amang menyempatkan diri untuk melatih. Itu ia lakukan bukan semata sebagai ajang transformasi ilmu. Khususnya, di dunia balap lari. Tapi, juga untuk mencari tambahan penghasilan.
Di tengah perbincangan itu, sebuah peristiwa diluar dugaan terjadi. Faishol, 20, putra pertama Amang tiba-tiba meraung dan diikuti kejang-kejang hebat. Karuan saja, suasana yang tadinya tenang mendadak sedikit gaduh. Amang yang semula duduk kursi ruang tamu pun bergegas menghampiri.
Sekitar10 menit pemandangan itu terjadi. Usai dipijat di bagian kaki, kejang-kejang yang dialami Faishol pun sedikit mereda. “Maaf jadi seperti ini,” ujar Amang sembari sesekali meniupkan udara ke arah bagian perut putranya itu.
Di sela upayanya menenangkan putranya itu, menurut Amang, kelainan itu sudah dialami putranya sejak enam tahun terakhir. Ia mengalami gangguan saraf semenjak ibu yang juga istri pertama Amang meninggal. “Ndak tahu. Sejak ibunya meninggal, dia jadi seperti ini. Mungkin terlalu mikir,” katanya.
Amang sendiri sebenarnya sudah berupaya untuk mengobati penyakit putranya itu. Termasuk, dengan membawanya ke tempat pengobatan alternatif. Namun, upaya itu belum banyak membuahkan hasil. “Kalau pas lagi pusing, pasti begini,” imbuhnya.
Sebagai jalan terakhir, ia pun memberinya obat yang diperoleh dari dokter. Sehari dua kali. Dengan harga obat Rp 4 ribu per butir. Beruntung. Ia memiliki askes. Sehingga, ia pun tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan putranya itu. “Kalau tidak ada askes ya berat juga,” jelas Amang.
Apa yang terjadi pada diri putranya itu sebagai sebuah ironi. Mengingat, bakat Amang sebagai seorang pelari itu kini mengalir pada diri putranya itu. Hal itu dibuktikan dengan dereten piala yang diraih Faisol dari berbagai event kejuaran lari yang diikutinya. Baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Sayang, peluang untuk mengikuti jejak sang ayah itu terkendala dengan kondisi Faisol itu. “Mau bagaimana lagi. Ya harus bersabar,” ujar Amang yang mengaku tiga bulan lagi sudah memasuki masa pensiun ini.
Sekilas, dari yang pengamatan koran ini, untuk seorang mantan pelari nasional, kondisi Amang memang cukup sederhana. Statusnya sebagai pegawai petugas TPR terminal menjadi satu-satunya sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya.
Memang, saat masih aktif sebagai pelari dulu, dirinya mendapat uang pembinaan. Sebesar Rp 24 ribu per bulan. Itu pun, harus diambil ke kantor KONI di Surabaya. Namun, setelah prestasinya menurun, uang pembinaan itu tak lagi diterimanya.(Mochammad Asad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar