Minggu, 03 Mei 2009

Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Arjuno (1)


KERAMAT: Sebelum ke Tampuono, pengunjung akan menemui Goa Ontoboego. Sebagian pengunjung kerap membakar dupa di lokasi ini


Lereng Gunung Arjuna yang ada di wilayah Kabupaten Pasuruan ternyata memiliki sejumlah tempat keramat. Salah satunya adalah Tampuono. Bagaimana kondisi tempat yang dikeramatkan tersebut?


KONON sebagian masyarakat dahulu masih percaya, kawasan lereng gunung yang masuk Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi itu jadi tempat bersemayam para dewa. Terutama, kala agama Hindui masih menjadi ajaran yang dianut mayoritas masyarakat Jawa.

Setidaknya, jejak kepercayaan itu masih bisa dilihat hingga sekarang. Beberapa lokasi yang ada di kawasan Gunung Arjuna jadi dikenal sebagai tempat sakral (keramat). Tidak mengherankan, pada waktu tertentu, banyak warga yang mengunjungi lokasi-lokasi tersebut untuk menggelar ritual.

Terutama bagi mereka yang masih lekat dengan tradisi Kejawen. Biasanya, puncak kedatangan warga itu terjadi pada malam pergantian tahun Jawa. Atau yang akrab dengan sebutan malam Syuro. Ribuan warga dipastikan berkunjung ke lokasi itu. Sekedar meminta berkah, atau sekedar mengenang arwah para leluhur.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke Tampuono. Kunjungan ini merupakan kedua kalinya sejak 2006 silam. Nyaris tidak ada yang berubah dibanding saat saya berada di sana kali pertamanya. Wangi khas aroma dupa yang habis dibakar sesekali tercium.

Perjalanan ke Tampuono memang cukup melelahkan. Selain jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga, sekitar lima kilometer, ruas jalanan yang dilalui juga sedikit menanjak. Butuh waktu sekitar dua jam, untuk bisa sampai ke sana.

Awalnya dari Purwosari, tepatnya masuk ke jalan Pegadaian. Biasanya, rute ini bisa ditempuh dengan naik motor ojek. Usai menempuh sekitar 7 kilometer baru sampai di Desa Tambaksari. Tepatnya di Dusun Tambakwatu. Nah, dari pemukiman terakhir inilah para pengunjung harus berjalan kaki untuk sampai di Tampuono.

Sebenarnya, ada juga alternatif lain yang bisa dipakai untuk sampai lebih cepat ke sana. Yakni menggunakan motor trail atau jeep. Meski tidak bisa langsung sampai ke lokasi, tapi paling tidak bisa sampai ke Goa Onto Boego. Letaknya, di pertengahan antara pemukiman warga dengan Tampuono.

Dan, saat itu saya lebih memilih berjalan kaki. Selain memang tidak ada kendaraan yang bisa dipakai, itung-itung juga untuk olahraga. Dan bagi yang tidak pernah ke sana, akan lebih baik untuk lebih cermat. Maklum, sepanjang jalan yang dilalui, terdapat beberapa persimpangan yang memungkinkan bisa tersesat.

Beberapa saat kemudian, koran ini akhirnya sampai di komplek Goa Onto Boego. Lubang gua ini terlihat cukup sempit. Hanya cukup seukuran tubuh manusia. Karena itu, jarang pengunjung yang berani masuk ke sana. Apalagi, tempat itu memang dikenal keramat.

Satu-satunya yang biasa masuk ke sana adalah juru kunci. “Biasanya, kalau pas malam Syuroan ada yang masuk,” terang Andri, warga setempat. Beberapa bangunan permanen melengkapi komplek gua itu.

Tepat di depan pintu masuk gua, ada bangunan cungkup dengan arsitektur Jawa. Juga ada altar berkeramik yang berada di sisi kiri cungkup gua itu. Ukurannya cukup luas, sekitar 6,5x6,5 meter.

Oleh mereka yang datang, altar ini biasa dipakai ritual menaruh sesajen pada tiap malam Syuro. Juga ada satu bangunan cungkup lainnya dengan ukuran lebih kecil. Di depannya, tampak batu besar yang disebut-sebut sebagai miniatur Gunung Arjuna.
Lalu bagaimana dengan mereka yang ingin menggelar ritual di tempat itu? Tidak perlu khawatir. Sebab, di komplek itu telah disediakan perlengkapan untuk melakukan ritual. Seperti membakar dupa atau yang lain.

Dan itu terlihat di kedua bangunan cungkup itu. Tampak sisa-sisa batang dupa yang baru dibakar. Aromanya semerbak bercampur aduk dengan bunga yang ditaburkan para pengunjung di bangunan tersebut. “Tiap hari selalu saja ada yang kemari,” jelas warga lainnya.

Ada lagi sebenarnya satu bangunan lain. Meski panjangnya lebih luas dibanding beberapa bangunan yang lain, namun arsitekturnya lebih sederhana. Itu bisa dilihat dari dindingnya yang terbuat dari kayu semata. Tapi juga lantainya yang tidak dikeramik.

Bangunan inilah yang biasa dimanfaatkan pengunjung atau para pendaki Gunung Arjuna untuk bersitirahat. Karena itu, pada bangunan itu juga dilengkapi tempat tidur dari tanah yang telah dicor.

Bentuknya menyerupai ranjang yang memanjang. “Tapi jarang yang isitirahat di sini karena masih di bawah,” ungkap Andry. Mereka lebih memilih beristirahat di Tampuono. Atau tempat peristirahatan lain yang banyak tersebar di lereng gunung tersebut. muhammad asad/bersambung)

1 komentar:

andinoeg mengatakan...

wah baru kemari saya dan doeloer dari MAPAITOPAS ke sana, salam lestari