Minggu, 03 Mei 2009

Ke Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Arjuno (2)



TENANG: Kawasan Tampuono (dilihat dari atas). Loksinya yang tenang membuat sebagian pengunjung merasa nyaman berada di sana


MENDUNG tipis terlihat menggelayut di langit. Setengah jam berada di komplek goa Onto Boego, wartawan koran ini melanjutkan perjalanan ke Tampuono. Jaraknya, sekitar dua kali perjalanan dari pemukiman terakhir warga ke Onto Boego.

Rimbunan semak-semak tumbuh liar di sepanjang jalan yang dilalui. Ini berbeda dengan perjalanan menuju ke Onto Boego yang lebih banyak didominasi kebun kopi. Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas pertanian sumber penghasilan warga setempat.

Hamparan kebun kopi itu bukan milik warga sendiri. Melainkan, milik Perhutani yang proses penggarapannya dilakukan masyarakat sekitar hutan. Hasil pengelolaan itu dibagi, antara pengelola lahan dengan Perhutani.

Jauh di sebelah kiri, hamparan kebun teh milik PTPN XII terlihat menghijau. Area yang masuk Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang itu juga terlihat cukup luas. Serta menyejukkan mata, sekaligus jadi obat penawar penat perjalanan.

Beberapa saat kemudian sampailah langkah di sebuah tanjakan berbatu. Bisa dibilang, ini merupakan tanjakan paling tajam dalam perjalanan ke Tampuono. Di sinilah, terdapat bongkahan batu membentuk kursi. Ukurannya cukup besar, bisa dipakadi duduk 2-3 orang.

Bentuknya yang menyerupai kursi itulah, membuat warga menyebutnya sebagai batu singgasana para raja. Konon, para raja-raja besar kerajaan kuno di Jawa Timur pernah menduduki batu yang terbuat dari jenis batuan andesit itu.

Tak mengherankan pula, bagi sebagian pengunjung, keberadaan batu itu dinilai sebagai benda keramat hingga harus disucikan. Itu bisa dilihat dari dekat batu singgasana tersebut. Sisa-sisa dupa yang habis dibakar dan bunga, terlihat berserakan di atas batu itu.

Sesekali, terdengar gemericik suara air dari pipa saluran air bersih yang ada di sebelah kiri jalan. Perjalanan pun berlanjut. Dan tak terasa, usai melewati jalanan setapak yang dibuat menyerupai tangga, akhirnya sampai juga di Tampuono.
Suasana teduh menyambut di kawasan itu. Sejuk hawa dingin segar terasa menyentuh kulit.

Meski mendekati tengah hari, suasana masih terasa seperti pagi. Deretan pohon berumur puluhan bahkan mungkin ratusan tahun, berjajar cukup rapat.
Diikuti rapatnya dedaunan yang seperti tak menyisakan celah terik mentari. Desiran angin sepoi, benar-benar jadi membuat letih penat perjalanan jadi sirna. Suasananya benar ayem tenteram. Tak heran, bila konon banyak raja-raja zaman dulu yang singgah ke tempat ini.

Saat itu, tampak lelaki paro baya sedang duduk santai. Namanya Suroso. Memakai baju warna gelap serta udeng warna sama, pria asal Jepara, Jawa Tengah ini sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam. “Monggo Mas,” sapanya.

Suroso mengaku sudah cukup lama berada di Tampuono. Sehingga banyak warga dusun terakhir yang cukup akrab dengan dirinya. Waktu lima bulan berada di tempat sepi seperti itu bukanlah masa yang sebentar. Namun Suroso mengaku masih cukup betah.
“Nanti kalau sudah waktunya baru pulang,” ujarnya. Kira-kira kapan? Suroso enggan menjelaskan kapan waktunya pulang itu tiba. Hanya dia mengisyaratkan, saat itu akan tiba ketika apa yang dicarinya di tempat tersebut sudah didapatkan.

Suroso bukanlah satu-satunya pengunjung yang menghabiskan waktunya berhari atau berbulan di Tampuono. Selain dirinya, beberapa pengunjung lain juga melakukan hal serupa. “Biasanya untuk lelakon,” terang Andry, warga yang saat itu menemani koran ini.

Setidaknya, ada beberapa tempat yang biasa dipakai para pengunjung untuk menjalani lelakon itu. Diantaranya, petilasan Eyang Sekutrem yang jaraknya hanya beberapa meter dari pintu masuk kawasan Tampuono.

Konon, pengunjung yang ingin mendapatkan berkah, harus singgah di petilasan ini lebih dulu. Jika tidak, apa yang jadi permintaannya bakal sulit terwujud. Dari luar, petilasan itu tak ubahnya bangunan makam tokoh atau sesepuh yang dituakan.

Bangunannya seperti yang biasa dijumpai di desa-desa kebanyakan. Berdinding beton, dengan lantai dan lapisan dinding yang terbuat dari keramik. Yang menarik, lapisan keramik di dinding itu ternyata masih baru.

Padahal sebelumnya, saat koran ini berkunjung pertama kali, dinding bangunan tersebut hanya berupa beton. Itupun terlihat agak rapuh. Ternyata beberapa waktu lalu, seorang warga keturunan asal Surabaya telah merenovasinya. “Dia yang mendanai pembangunan petilasan ini,” terang Andry. (muhammad asad/bersambung)

1 komentar:

bagoes mengatakan...

well...sebuat tempat menarik untuk dikunjungi. Ada tempat nge-camp gak??