Senin, 11 Mei 2009

Amang Mulachela, Potret Lemahnya Jaminan Hidup Atlet Berprestasi (1)


KENANGAN: Amang, bersama koleksi medali yang pernah diperolehnya.

UNTUK ukuran mantan atlet nasional, rumah Amang Malecha tergolong sederhana. Selain ukurannya relatif kecil, hanya 4 x 10 meter, kondisi rumahnya juga tak lebih baik dari rumah di sekitarnya.

Saat dikunjungi beberapa waktu lalu, (20/4), Amang terlihat santai. Seminggu lalu, pria kelahiran Pasuruan 9 Juli 1953 ini mendapat giliran masuk pagi. Sebagai pegawai di lingkungan Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Pasuruan. Tepatnya, di bagian penarikan retribusi di kawasan terminal Pandaan.

Selain di rumah, sehari-harinya Amang memang berada di terminal. Seminggu masuk pagi, seminggu masuk siang. Begitu seterusnya. “Jadi, seminggu ke depan saya masuk siang,” terang Amang yang kini berusia 56 tahun itu.

Deretan piala tampak berjajar di sebuah meja kecil yang ada di sudut ruang tamu. Piala-piala itu bukan milik Amang. Tapi milik putra pertamanya, Faishol, 20, atas prestasinya di sejumlah ajang kejuaraan atltetik. Itu pun baru sebagian saja. Sisanya diletakkan di atas almari yang ada di ruang tengah.

Piala-piala itulah barangkali satu-satunya yang menarik dilihat di ruang tamu itu. Selebihnya, hanya ada satu set meja kursi yang mulai kusam. Serta satu almari dan seperangkat alat elektronik. Seperti televisi 17 inch dan VCD player yang tampak kurang terawat.

Di almari itulah, Amang menyimpan beberapa medali yang pernah diraihnya selama mengikuti kejuaraan. Baik tingkat nasional maupun internasional. Terdiri dari 13 medali emas, 2 medali perunggu dan 1 medali perak.

Saat ditunjukkan, saya sempat sedikit kaget. Sekilas, medali-medali itu seperti bukan barang berharga. Selain sudah terlepas dari gantungannya, kepingan medali itu terlihat lapuk. Udara yang lembab juga membuatnya tertutup jamur.

Padahal, dulu jelas perlu kerja keras untuk mendapatkan keeping-keping medali tersebut. “Makanya, sekarang jadi seperti ini,” ujar Amang sembari menyodorkan beberapa keping koleksi medalinya itu. Warnanya memang sudah kusam tertutup jamur.
Amang sendiri lahir dari sebuah keluarga tergolong besar. Dari tujuh saudaranya, ia paling bungsu. “Sekarang tinggal empat, termasuk saya,” ungkapnya menyebut para saudaranya itu. Tiga saudaranya itu kini tinggal di Bangil, Malang dan Pandaan.

Ketertarikan Amang dengan olah raga adu lari cepat itu sebenarnya terlihat sejak kecil. Selain menyehatkan, olah raga itu juga dinilainya lebih praktis dan murah. Artinya, tidak perlu alat lain untuk melakukan olah raga ini.

Namun, Amang sama sekali tak mengira ketertarikannya pada jenis olah raga itu akan mengantarkannya menjadi atlet nasional. Itu bermula keikutsertaannya mengikuti lomba balap lari. Mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kabupaten.

Yang membanggakan, hampir di setiap perlombaan yang diikutinya itu, Amang meraih juara pertama. Termasuk, ketika mengikuti seleksi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) yang digelar Kabupaten Pasuruan, 1962 silam. Saat itu, Amang berhasil mengungguli peserta yang lain dalam beradu lari cepat.

Perlahan. Karir Amang sebagai pelari cepat di nomor 5.000 dan 10.000 meter itu pun kian moncer. Berbagai prestasi di ajang seleksi yang digelar di beberapa kota, seperti Malang dan Kediri berhasil ia sabet.

Akhirnya, prestasi itu mulai dilirik Pengurus Daerah Komite Olah Raga Nasional (KONI) Jatim. Amang kemudian dipanggil mewakili Jatim di ajang pesta olahraga terbesar di negeri ini, Pekan Olahraga Nasional (PON) VII yang digelar di Surabaya, tahun 1969.

Meski baru pertama kali tampil di level nasional, prestasi Amang tak terlalu mengecewakan. Putra pasangan Salim Mulachela dan Mahnunah itu berhasil menyabet juara di dua nomor lari yang diikutinya di event tersebut. Yakni di nomor 5.000 dan 10.000 meter.

Sukses yang diraih Amang pada PON VII itu membuat KONI kepincut. Pada PON berikutnya, pria yang menikah dua kali ini kembali dipanggil mewakili Jatim. Kali ini, untuk tampil pada event yang digelar di Jakarta.

Pada kejuaraan yang digelar tahun 1973 itu, lagi-lagi prestasi gemilang diraih Amang. Dia berhasil menyumbangkan dua medali untuk Jatin. Satu medali emas di nomor 10.000 meter dan satu medali perak di nomor lari 5.000 meter.

Penyelenggaraan PON IX adalah puncak bagi Amang mengukir prestasi. Dua medali emas dari nomor yang sama berhasil dipersembangkan Amang pada event yang kembali digelar di Ibukota Jakarta itu. “Dua-duanya dapat juara satu,” jelas pria yang rambutnya sudah mulai memutih ini.

Yang menarik, prestasi itu diraih Amang dilalui dengan penuh keunikan. Sebab, diantara sekian atlet yang tampil di lomba itu, hanya amang yang tidak memakai alas kaki. Dan ternyata, kondisi tak bersepatu itu memang ia lakukan sejak ketika ia masih kecil. Sebelum terjun sebagai pelari profesional.

“Mau bagaimana, wong memang tidak terbiasa,” jelasnya sembari tersenyum. Bukan hanya itu. Keunikan lainnya adalah kebiasaan menggunakan ujung kaki sebagai tumpuan saat berlari, dari pada menggunakan tumit. Tidak mengherankan. Oleh beberapa pelatihnya dulu, Amang termasuk sosok pelari dengan penuh keistimewaan. (Muhammad Asad/bersambung)

Tidak ada komentar: