
MEMESONA: Jalan setapak menuju kawasan Tampuono
Hembusan angin yang perlahan terasa begitu sejuk. Suara-suara binatang alas yang sesekali terdengar saling bersahutan. Diselingi aroma dupa yang harum semerbak, membuat suasana di sekitar Tampuono menjadi lebih nyaman.
Tak mengherankan, banyak pengunjung yang menjadikan tempat ini sebagai jujugan untuk mencari ketenangan. Suroso, warga asal Jepara, Jawa Tengah yang sempat ditemui sebelumnya adalah salah satu dari mereka. ‘Hanya’ untuk mencari ketenangan itu, dirinya rela melewatkan waktunya selama lima bulan berada di sana.
Apalagi, selain petilasan Eyang Sekutrem, juga ada beberapa lokasi yang juga bisa dipercaya sebagai wasilah untuk mencari ketenangan itu. Diantaranya, petilasan Eyang Abi Yoso. Yang terletak di sisi belakang kawasan Tampuono. Tepat di belakang bangunan pendapa.
Petilasan ini berbeda dengan petilasan yang dijumpai sebelumnya. Selain lokasinya yang berada sedikit lebih tinggi dari Eyang Sekutrem, dari segi bangunannya juga lebih besar. Perbedaan lainnya juga terletak pada model petilasan yang menyerupai kuburan. Lengkap dengan dua batu di kedua sisi ujungnya.
Berada di tempat ini memang terasa mengasyikkan. Selain jauh dari keramaian kota, juga karena suasananya yang memang cukup nyaman. Apalagi, banyak rumah-rumah kosong yang bisa dipakai sebagai tempat tinggal. Jumlahnya mencapai empat rumah.
Meski hanya terbuat dari kayu, ukuran rumah yang berjajar itu cukup besar. Sekitar 4x7 meter. Lengkap dengan amben yang biasa dipakai tempat tidur.
“Lebih, kalau hanya untuk menampung 10 orang,” ujar Andry, salah satu warga yang ikut menemani berkeliling. Biasanya, di rumah-rumah inilah, pengunjung tinggal selama beberapa hari bahkan pekan atau bulan.
Tepat di depan rumah-rumah itu, adalah pendapa Tampuno. Dengan ukuran yang nyaris sama dengan altar dan pendapa yang ada di Goa Onto Boego. Di pendapa inilah, para pengunjung kerap menggelar upacara ritual.
Tidak mengherankan, jika desain bangunannya pun sama dengan yang ada di Onto Boego itu. Selain berlantaikan keramin, tepat di tengah ruangan, terdapat empat batu yang ditanam membantuk empat simpul persegi. Sementara di tengahnya, tampak sejumlah peralatan untuk membakar dupa.
Kondisi itu benar-benar menambah kesan mistis tempat tersebut. Apalagi, di beberapa sudut Tapuono, tampak beberapa patung arca. Termasuk, sebuah arca dewa yang beraa di belakang petilasan Eyang Abi Yoso. Para pengunjung asal Bali biasa menjadikan arca ini sebagai jujug an saat berada di tempat ini.
Puas mengelilingi kawasan Tampuono, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Candi Lesung. Rutenya, dari petilasan Eyang Sekutrem, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke kanan. Melewati cela batang-batang pohon yang sudah berumur puluhan tahun.
Namun, pengunjung harus hati-hati. Selain banyak bebetuan licin karena tertutup lumut, terdapat sejumlah persimpangan yang memungkinkan pengunjung kesasar. Jalan yang kea rah kiri, menuju ke kawasan puncak Arjuna. Sementara yang ke kanan, menuju candi yang dimaksud.
Setengah jam berselimut semak-semak belukar, koran ini akhirnya sampai di lokasi candi. Meski tak ada papan tulisan yang menjelaskan nama lokasi itu, orang-orang menyebutkan sebagai Candi Lesung.
Sayang, struktur bangunan candi ini hampir habis. Kalau pun ada yang tersisa, adalah lempengan batu berbentuk persegi yang ditata hingga membentuk altar. Bisa jadi, dulunya ini adalah fondasi candi sebelum akhirnya seperti sekarang ini.
Satu-satunya yang mungkin dijadikan penanda akan keberadaan candi ini adalah batu panjang berukuran sekitar 1,5 meter dengan kondisi permukannya yang cekung. Lesung? Ya. Karena lesung inilah, candi ini dinamai candi lesung.
Tak jauh dari lokasi candi ini, berdiri sebuah bangunan (baca gubuk, Red) yang sangat sederhana. Terdiri dari beberapa pilar kayu dengan dinding dan atap bangunan yang terbuat dari seng. Seperti halnya rumah-rumah yang ada di Tampuono, bangunan ini juga biasa dimanfatakan pengunjung untuk menginap.
Yang menarik, adalah keberadaan tanah lapang yang berjarak sekitar 30 meter sebelah Timur dari lokasi candi. Dari lokasi itulah, pengunjung bisa menikmati sebuah pemandangan yang cukup menakjubkan.
Iringan-iringan awan putih yang cukup tebal di kawasan puncak Arjuna terasa begitu dekat. Belum lagi sejauh mata memandang, hamparan tanaman terlihat menghijau dari arah kaki pegunungan.
Dari tempat itu pula, koran ini bisa melihat situs-situs bersejarah. Diantaranya, Gumandar, Candi Lepek, Candi Semar, Makutoromo. Ini merupakan struktur di serambi muka dari halaman berikutnya lokasi itu merupakan komplek bangunan halaman muka dari halaman berikutnya.
Konon, tak kurang dari 20 arca dwarapala, yaitu penjaga bangunan suci berdiri dibangun di lokasi itu. Arca-arca itu diletakkan dengan posisi berurutan berbaris ke belakang ke sebuah titik yang lebih tinggi.
Dengan jarak pandang yang cukup jauh, kedua tempat itu terlihat cukup jelas. Dibutuhkan waktu satu setengah jam dari koran ini berdiri untuk sampai ke sana. (Muhammad As'ad)
2 komentar:
Wah pemandangannya bagus mas, kalau ada kesempatan pasti saya kesana habis cari udara bersih dikota sudah susah!
Wah pemandangannya bagus mas, kalau ada kesempatan pasti saya kesana habis cari udara bersih dikota sudah susah!
Posting Komentar