Selasa, 10 Desember 2013

Jalan-Jalan ke Shenzhen, Salah Satu Pusat Ekonomi di Cina

Pemerintah Kota Shenzhen spertinya tak ingin setengah hati untuk menyulap daerahnya yang nyaman dikunjungi. Selain jaringan infrastrukturnya yang begitu sempurna, kebersihannya juga benar-benar terjaga. Untuk menjaga kebersihan kotanya, pemangku wilayah Shenzhen memang menempuh berbagai upaya. Salah satunya, membuat kendaraan yang didesain khusus untuk sampah. Sekilas, kendaraan ini tak jauh beda dengan kendaraan pengakut sampah di daerah kita. Bedanya, jika di daerah sampah-sampah tersebut dibersihkan oleh tenaga manusia, di sana, sudah dilakukan mesin. Begitu juga dengan truk yang didesai khusus untuk sampah itu. Di bagian bawah truk, dipasang beberapa blower yang fungsinya menyedot sampah-sampah di jalanan. Nah, truk-truk inilah yang secara berkala berkeliling Shenzhen untuk menyedot sampah-sampah di jalanan. Selain fasilitas yang memadai, keseriusan pemerintah dalam menjaga kebersihan daerahnya juga tercermin dari jumlah denda yang dikenakan bagi mereka yang membuang sampah sembarangan. Misalnya, denda sebesar 5000 Yuan untuk mereka yang kedapatan membuang rokok sembarang. Bisa jadi, karena tingginya ancaman denda itu pula, tidak banyak ditemui warga yang merokok di sembarang tempat. Untuk melakukannya, mereka biasanya memilih di tempat-tempat atau lokasi yang memang khusus dibuat bagi perokok. Dibandingkan kota-kota besar yang ada di Indonesia, Shenzhen memang memiliki banyak keunikan. Selain kebersihan kotanya yang benar-benar terjaga, juga sulitnya menjumpai sepeda motor. Bahkan, meski hampir sepekan lamanya berada di sana, tak satu pun sepeda motor yang saya jumpai Feng Huan, ekspatriat asal Cina yang ikut menemani saya jalan-jalan menyatakan, bagi warga Shenzhen, sepeda motor memang kurang begitu popular. Sebab, sebagai masyarakat yang memiliki tipikal pekerja keras, warga Shenzhen berharap kenyamanan. Karena itu, dalam melakukan aktivitasnya, mereka lebih banyak mengandalkan transportasi umum seperti taksi, bus atau moda transportasi masal lainnya. “Mereka sudah cukup capek dengan aktivitas di kantornya. Jadi, mereka memilih untuk naik bus umum, kereta bawah tanah, atau pakai mobil pribadi,” jelas Feng Han. Bicara soal transportasi umum, Pemerintah Shengzhen memang cukup apresiatif. Untuk memudahkan akses ke kereta bawah tanah misalnya, pemerintah membangun stasiun di setiap blok kawasan. Ya, berada di Shenzhen memang terasa mengasyikkan. Selain masyarakatnya yang ramah, juga tata kotanya yang juga bersahabat. Jalur-jalur pedestrian begitu luas hingga dua meter lebih. Selain itu, banyak taman dan ruang terbuka hijau yang bisa dijumpai.

Senin, 25 Mei 2009

Mendaki Puncak Welirang (Lembah Kijang)


Perjalanan ke puncak gunung Welirang memang sungguh mengasyikkan. Apalagi, sepanjang perjalanan, ada banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi. Diantaranya, lembah Kijang. Lokasinya, sekitar satu kilometer arah tenggara dari rute menuju puncak.

Lembah itu sendiri berupa sebuah tanah lapang. Dengan hamparan rumput setinggi sekitar 20 sentimeter yang dikelilingi rimbunan pohon pinus. Banyak para pendaki yang menjadikan lokasi ini sebagai tempat mendirikan tenda.

Selain karena tepat berada di titik tengah antara puncak Arjuna-Welirang, suasanya juga relatif tenang. Tak mengherankan, banyak para pendaki yang menjadikan lokasi ini sebagai tempat untuk mendirikan tenda. Apalagi, persediaan air di tempat itu juga cukup melimpah.

Sebutan lembah kijang itu sendiri dilakukan oleh para komunitas pecinta alam (PA). Konon, banyak binatang Kijang (Rusa, Red) mencari makan di kawasan lembah itu. Itu terjadi beberapa dasawarsa silam. Karena kebiasaan itu, lokasi itu akhirnya akrab disebut lembah kijang.

Selain lembah Kijang, lokasi itu juga akrab dengan sebutan lembah benteng. Itu karena di tempat itu, terdapat puing-puing sisa bangunan peninggalan zaman kerajaan Belanda. Lokasnya, tepat berada di tengah-tengah lembah itu.

Sayang, saat saya berkunjung ke sana, sisa-sisa bangunan itu hampir tak bisa dilihat karena tertutup rerumputan. Satu-satunya yang masih bisa dilihat adalah kolam air yang berada di sisi kiri kompleks bangunan utama. Meski sedikit tertutup rerumputan dan berlumut, bentuk bangunan asli itu masih bisa dilihat.

Memiliki lebar sekitar satu meter, dengan panjang sekitar empat meter. Dengan kedalaman sekitar dua meter. Meski sudah berumur puluhan –bahkan mungkin ratusan tahun- bangunan itu masih bisa berfungsi dengan baik. Air yang mengalir di kolam itu pun terlihat cukup jernih.

Tidak jelas bangunan apa itu sebenarnya. Namun, berdasar cerita yang berkembang, konon, di lokasi itu adalah basis peternakan orang-orang Belanda. Namun, ada juga menyebutnya sebagai gudang penyimpanan senjata para kompeni. Hanya sejarah yang bisa menjawabnya.

Berada di tempat itu memang terasa cukup mengasyikkan. Apalagi, pada jam-jam tertentu, kabut putih menyeliputi sekitar lembah. Dengan latar belakang puncak Arjuna, terasa kian menentramkan.

Masud, salah satu peserta rombongan menyatakan, suasana lebih menarik ketika bulan Juni-Juli. Sebab, pada rentang waktu tersebut, kawasan tersebut banyak dipenuhi bunga edelweiss. “Kebetulan, ini memang belum waktunya berbunga,” terangnya.

Selain kawasan lembah kijang, aktivitas penambangan belerang di kawasan puncak juga tetap menarik untuk dilihat. Hanya, agar tidak mengalami ganggungan pernapasan akibat menghirup asap belerang, ada beberapa hal yang harus diikuti.

Sediakan sapu tangan atau bahan lainnya yang bisa dipakai masker. Sebagian pendaki, biasanya memilih untuk menggunakan handuk kecil karena memiliki serat yang lebih padat. Itu saja? Tidak. Agar lebih aman, masker itu perlu dibasahi terlebih dulu dengan air. (Muhammad Asad)

Mendaki Puncak Welirang (Belerang)





Pagi itu (Jumat, 8/5) jam dinding menunjuk pukul 09. 00. Usai melapor kepada petugas di pintu masuk, pendakian ke puncak Welirang pun dimulai. Sejuk hawa pegunungan terasa menusuk tulang.

Ada tujuh orang yang ikut dalam perjalanan ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 3. 156 diatas permukaan laut (dpl) itu. Selain saya, ada juga manager community development Yayasan Kaliandra, Fathurrohman, tiga mahasiswa Pecinta Alam (PA) Universitas Yudharta Pasuruan.

Juga ada Arno Subali, salah satu tokoh masyarakat Tretes, Prigen, serta seorang peserta rombongan lain.

Perjalanan berlangsung dengan penuh semangat. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, pendakian ini merupakan yang pertama kalinya. Karena itu, meski harus membawa perlengkapan yang cukup berat, kami cukup menikmatinya.

Ada tiga titik yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai pintu masuk ke puncak. Selain Tretes –yang kebetulan kami pilih sebagai lokasi start- para pendaki juga bisa melalui Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi. Atau juga melalui Yayasan Kaliandra, di Dusun Gamoh, Desa Dayurejo, Kecamatan Prigen.

Kebanyakan, para pendaki memilih Tretes sebagai pintu masuk. Termasuk kami. Meski memakan waktu sedikit lebih lama, namun, rutenya lebih mudah untuk ditempuh. Bahkan, bagi para pendaki pemula sekalipun.

Perjalanan kami lalui dengan penuh suka cita. Maklum, selain ketiga mahasiswa itu, ini merupakan pertama kalinya. Yang terbayang saat itu hanya keelokan puncak Welirang dengan hamparan warna hijau sejauh mata memandang. Membayangkan kepulan asap dari tambang belerang, kami pun ingin cepat-cepat sampai ke sana.

Hamparan kebun kopi yang banyak dijumpai di sepanjang jalan. Setengah jam berjalan, perjalanan akhirnya sempai di sebuah pos perbatasan. Yang menandai perbatasan hutan wilayah Perhutani dan kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo.

Di bawah pos tersebut, adalah kawasan hutan wilayah Perhutani. Perusahaan plat merah yang diberi tugas untuk mengelola hutan. Di atasnya, adalah kawasan hutan Tahura. Selain pisang, hampir tak ada tanaman produktif di sana. Karena kawasan itu hanya berisi pepohonan lindung.

Dari tempat kami berdiri, panorama sekitar terasa begitu memesona. Terlebih, ketika kami mengarahkan pandangan ke lereng perbukitan. Kawasan pemukiman yang tampak dari tempat kami berdiri terlihat begitu kecil. Menimbulkan kesan tersendiri bagi yang melihatnya.

Tiga jam lebih telah kami lewati. Perjalanan akhirnya sampai di kawasan gunung Limas. Yang berada tepat di ketinggian 1.530 dpl. Rombongan kemudian menyempatkan diri beristirahat sebentar. Sekedar menikmati pemandangan di bawah sekitar pegunungan yang mulai terlihat elok.

Dari kejauhan, suara gesekan dedaunan yang tertiup angin menimbulkan kesan tersendiri. Sayup-sayup, suaranya terdengar riuh. Seperti suara Kereta Api (KA) yang sedang berjalan. Karena itu, tidak sedikit pula yang mengaitkan suara itu dengan hal-hal yang berbau mitos.

Pukul 13. 00, rombongan kemudian sampai di kop-kopan. Tempat ini biasa dipakai oleh para pendaki untuk berisitirahat serta mengisi air untuk perbekalan selama perjalanan.

Yang menarik, adalah nama yang dipakai untuk menyebut tempat itu, kop-kopan. Nama itu merujuk pada kebiasaan para pendaki yang biasa ngokop (minum dengan menggunakan dua telapak tangan) di mata air yang ada di lokasi setempat.

Karena kebiasaan itulah, orang-orang kemudian menyebutnya sebagai kop-kopan (tempat ngokop, Red). “Biasanya, begitu sampai di sini, para pendaki sukanya langsung ngokop,” ujar Arno Subali, tokoh masyarakat Tretes yang ikut dalam rombongan itu.

Siang itu, cuaca terlihat cukup cerah. Memanfaatkan sebuah batu besar yang ada di tengah lokasi itu, Radar Bromo mendapati pemandangan yang sungguh menarik. Di sudut kiri sebelah utara, tampak puncak gunung Penanggungan yang terlihat gagah. Sementara awan putih terlihat bergulung-gulung di atas kepala.

Setengah jam kemudian, perjalanan menuju puncak Welirang pun dilanjutkan. Dari titik ini, jalanan terasa semakin berat. Batu-batu seukuran kepala manusia memenuhi jalan selebar tiga meter itu.

Sebenarnya, ada juga cara lebih cepat yang bisa ditempuh untuk melakukan perjalanan ke puncak ini. Yakni, dengan menumpang kendaraan pengakut belerang (jeep). Namun, pada hari Jumat, mereka biasanya libur. Termasuk, aktivitas penambangan belerang itu.

Itu pun, pendaki yang menumbang harus memiliki keberanian tinggi. Kondisi jalan yang berbatu dengan kondisi sekeliling jalan berupa jurang, memincu adrenalin dari para penumpang. Karena itu, mereka yang anti dengan goncangan kendaraan, lebih memilih untuk berjalan kaki.

Hampir delapan jam lamanya perjalanan kami lalui. Tepat pukul 18. 00, rombongan akhirnya sampai di pondokan. Suasana begitu sepi. Hanya ada suara burung dan binatang alas yang sesekali terdengar dari kejauhan.

Sehari-hari, lokasi itu biasanya selalu ramai. Setidaknya, terdapat 30-an penambang belerang yang sehari-harinya tinggal di tempat itu. Seminggu sekali, tiap malam Jumat, mereka baru ‘turun gunung’. Sekedar nyambangi keluarga, atau recharger perbekalan.

Keberadaan kompleks pondokan itu sendiri cukup menarik. Terdiri dari sekitar 15 unit rumah dengan model yang cukup sederhana. Selain ukurannya yang tak seberapa tinggi, atap bangunannya juga terbuajt dari ilalang. Ukuran bangunan yang rata-rata kecil dan tak seberapa tinggi itu sengaja didesain agar udara di dalam lebih hangat.

Tanpa terasa, hari telah berganti gelap. Suasana terasa begitu sunyi. Malam itu, rombongan kemudian memutuskan untuk mendirikan tenda di lembah Kijang. berinisiatif mendirikan tenda di kawasan lembah Kijang. Sebuah tanah lapang yang ada di tenggara lokasi pondokan.

Usai beristirahat beberapa jam, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak Welirang. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke puncak dengan ketinggal 3.156 dpl itu.

Tiga jam kemudian, kami pun akhirbnya sampai. Rasa lelah, capek yang sempat meliputi diri terasa sirna begitu sampai di lokasi yang berupapa tanah cadas itu. Suasananya begitu memesona. Tebaran warga kuning keemasan terlihat memudar di langit sebelah Timur.

Sebentar kemudian, sang surya mulai terlihat mengintip. Panorama menjadi lebih eksotis. Pancaran sinar matahari yang terpantul dari perairan selat Madura membuat suasana terasa lebih indah. Membuat dada berdecak kagum.

Bahkan, terasa lebih indah dibanding ketika menikmati sunrise dari lokasi lain. Terlebih, dari lokasi itu, para pendaki juga bisa menikmati pucuk pegunungan yang berada di sekitar.

Seperti Penanggungan, Ringgit, hingga deretan pegunungan Bromo-Semeru. Gunung-gunung itu bisa dilihat dengan jarak pandang yang cukup dekat. Atau Arjuna. Yang bisa ditempuh hanya dengan perjalanan sekitar empat jam dari puncak Welirang.

Berada di puncak Welirang, dengan ketinggian yang mencapai 3156 dpl memang seperti berada di belahan dunia lain. Sebuah dunia yang mampu memberikan keindahan, ketentraman dan kenyamanan.

Namun, kondisi itu tidak bisa berlangsung lama. Terik matahari yang mulai menyengat. Ditambah asap belerang yang mulai terasa menyesakkan, kami pun terpaksa kembali turun. Apalagi, saat itu, sebagian dari rombongan mulai terserang gejala mountainsigness.

Sebuah kondisi yang diakibatkan oleh menipisnya kadar udara di puncak pegunungan. Serangan itu biasa terjadi di atas gunung yang memiliki ketinggian di atas 3000 dpl.

Para pendaki yang terserang penyakit ini, biasanya akan mengalami kantuk hebat. Biasanya, dengan asumsi kecapekan, banyak diantara pendaki yang tidak menyadari hal itu. “Dan, jika itu dibiarkan, mereka (pendaki) bisa sampai kehilangan kesadaran,” terang Masud. (*)

Senin, 18 Mei 2009

Saribuah Murbei, Minuman Penyambut ke Tretes




WELLCOME DRINK: Slamet Supryadi menunjukkan minuman sirup dari sari buah Murbei.


UNTUK kalangan warga Tretes, nama Slamet Supryadi sudah cukup dikenal. Selain karena kesehariannya menjadi penjaga rumah peristirahatan milik PTPN X, juga karena terobosannya mengenalkan minuman berbahan Murbei. Sebuah varietas yang lebih banyak dikenal sebagai tanaman pakan ulat penghasil sutra.
Ditemui kemarin (18/5), ayah tiga anak ini tampak santai. Saat itu, ia sedang duduk-duduk di sebuah ruang rumah peristirahatan PTPN X. Tepatnya yang ada di kawasan Watuadem, Kelurahan Pecalukan, Kecamatan Prigen.

Banyaknya tanaman yang tumbuh di sekitar rumah membuat suasana terasa begitu asri. Apalagi, saat itu ucara tak terasa begitu panas. Slamet, panggilan akrabnya, yang mengetahui wartawan koran ini datang, bergegas bangkit. “Mari silakan,” ujar Slamet sembari beranjak dari tempat duduknya.

Senyumnya ramah. Memakai kaus warna putih dipadu warna merah, Slamet kemudian mengajak ke lahan di samping kiri rumah. “Ini salah satu kebunnya,” terangnya. Dia menunjuk hamparan tanaman Murbei di lahan berukuruan 100x25 meter itu.

Bagi Slamet, kesibukannya membuat menu minuman berbahan Murbei ini sebenarnya sebuah kebetulan. Berawal keinginannya mencari tamabahan penghasilan. “Maklum, kalau cuma mengandalkan gaji, jelas tidak cukup,” ujarnya.

Untuk itu, Slamet berusaha mencari terobosan. Lima batang pohon Murbei yang saat itu sedang berbuah ia panen. Bersama sang istri, Yulis Khaflika, ia membuatnya menjadi sari buah hingga menghasilkan beberapa kantong plastik.

Oleh Slamet, minuman tersebut kemudian ia jajakan. Semua sekolah yang ada di sekitar Prigen ia masuki. Namun, dewi Fortuna agaknya belum berpihak kepadanya. Alih-alih ada yang membeli. Hingga sepekan lamanya, aktivitas Slamet itu justru mengundang tawa dan cibiran dari masyarakat sekitar.

Namun Slamet tak patah semangat. Menurutnya, lemahnya sambutan pasar itu lantaran mereka belum mengetahui manfaat sari buah Murbei. Apa yang dipikirkannya itu ternyata terbukti. Memasuki pekan kedua, barang dagangannya mulai laku. Bahkan, saat itu, hampir 125 bungkus minuman sari buah Murbei buatannya itu laku terjual.

Melihat kondisi itu, Slamet kian semangat. Lahan yang ada di samping vila PTPN lantas ia penuhi dengan tanaman Murbei. Bahkan untuk mengembangkan usahanya itu, ia nekat menjual rumah untuk menambah bibit tanaman Murbei.

Saat ini, sedikitnya, sudah ada 500 pohon Murbei yang ia kelola. Ratusan pohon Murbei itu tersebar di beberapa tempat. Ia juga menjalin kerjasama dengan petani setempat. “Ada sebagian yang kami tanam di lahan milik warga,” terang ayah dari Aris Fatoni, Afif, dan Aslam tersebut.

Slamet sendiri mengakui, prospek bisnis ini sebenarnya prospektif. Apalagi sejauh ini, respon pasar juga sangat bagus. Setidaknya, saat ini beberapa daerah telah menjadi pangsa pasar produk sari buah buatannya itu. Diantaranya Semarang, Jakarta dan Bandung.

Tak hanya untuk minuman. Setidaknya melalui tangan Slamet, buah yang kontur fisiknya mirip buah Strawberry itu juga ia jadikan menjadi sirup dan selai. Hasilnya, cukup lumayan.

Kemarin, saya sempat mencicipi rasa minuman yang hasil buatan Slamet. Ternyata, rasanya memang menyegarkan. Asam-manis. “Kalau dibanding Strawberry, aromanya memang kalah. Tapi rasanya lebih kuat,” ujar lelaki 45 tahun itu memberi penjelasan.

Itu belum khasiat medis yang terkandung dalam minuman tersebut. Sebab, berdasar data yang ada, buah Murbei memiliki banyak kandungan gizi. Bahkan, menurut ahli pengobatan tradisional China, buah tersebut berkhasiat memelihara fungsi ginjal dan jantung.

Yang menarik, tidak perlu cara khusus membuat minuman khas tersebut. Usai dipetik dari pohon, buah yang telah dipanen kemudian ditaburi garam. Itu untuk mengusir bakteri atau ulat yang dimungkinkan menempel pada buah tersebut. Beberapa jam kemudian, buah yang telah dibersihkan itu kemudian di-blender.

Perbandingannya, satu kilo Murbei dicampur air sekitar tiga liter. Hasilnya, kemudian direbus. Nah, dalam kondisi panas itulah, air sari buah itu dimasukkan ke dalam botol kemasan yang juga dalam kondisi panas. Itu agar minuman dalam botol tersebut tetap awet.

Slamet sendiri berharap, keberadaan minuman itu bisa dijadikan sebagai welcome drink menyambut setiap tamu yang datang ke Tretes. Karena itu, pihaknya akan menawarkan produk buatannya itu ke beberapa hotel yang ada di kawasan Tretes. “Sementara ini, baru Kaliandra yang kami pasok,” jelasnya. (Mochammad Asad)

Amang Mulachela, Potret Lemahnya Jaminan Hidup Atlet Berprestasi (2-Habis)



MAU PENSIUN:Amang Mulachela, saat menjalani aktivitasnya sebagai petugas TPR di kawasan terminal Pandaan.


Sebuh foto berukuran postcard tampak di sela deretan piala yang berdiri di atas meja di sudut ruang tamu. Meski tampak kusam, samar masih terlihat gambar dua sosok yang saling berjabat tangan.
Tak lain, gambar sosok yang berdiri lebih rendah adalah Amang. Sementara, dalam posisi yang lebih tinggi adalah mantan Presiden RI HM. Soeharto. Menurut Amang, foto itu diambil tahun 1976. Tepat menjelang keberangkatannya mengikuti lomba atletik di Pakistan.
“Waktu itu, kami memang sempat pemitan ke presiden sebelum berangkat,” terang Amang menceritakan momen dalam foto itu. Selain para atlet yang ikut dikirim, acara pamitan itu juga dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara kala itu. Termasuk, mendiang istri mantan presiden.
Selain belasan keping medali yang ada di laci almamri, juga ada sebuah sepeda motor Suzuki FR yang menjadi kenangan atas keberangkatan Amang ke Pakistan itu. Satu-satunya sepeda motor Amang itu merupakan hadiah yang dari mantan bupati Pasuruan Mulyono.
Sepeda motor inilah, yang saat ini menjadi saksi bisu atas sukses yang pernah diraih Amang. Dengan sepeda motor itu pula, Amang melakoni rutinitasnya sebagai pegawai negeri golongan 2C di pos TPR kawasan terminal Pandaan.
Jeliteng sendiri bukan satu-satunya mantan bupati Pasuruan yang memberikan apresiasi atas kiprah Amang di olah raga adu cepat lari itu. Pada tahun 1978, menjelang keberangkatannya di ajang Sea Games yang berlangsung di Singapura, Amang kembali mendapat hadiah.
Kali ini, hadiah berupa emas seberat 20 gram itu diberikan oleh pengganti Mulyono, Jeliteng Sunyoto. “Waktu itu, memang cukup lumayan,” kata Amang sembari mencoba mengingat-ingat peristiwa itu.
Keberangkatan ke Singapura itu sendiri bukan hanya kedua kalinya bagi Amang. Tapi, sekaligus yang terakhir kalinya di ajang internasional. Sebab, setelah penampilannya ini, praksis, Amang sekali tampil. Itu pun di ajang PON X yang digelar di Jakarta.
Saat itu, prestasi Amang pun mulai meredup. Itu dibuktikan dengan pencapaiannya yang sebagai juara tiga dan dua di dua nomor yang ia ikuti. “Saya kan sudah mulai tua. Jadi, kalah dengan yang muda-muda,” selorohnya.
Perlahan, predikat sebagai atlet lari jarak jauh itu pun mulai ditinggalkan oleh Amang. Apalagi, menyusul prestasinya yang kian menurun, induk cabang organisasi yang menaunginya pun tidak memanggilnya lagi. “Setelah itu, saya tidak pernah lagi ikut lomba sampai sekarang,” katanya.

Nah, saat ini, di sela kesibukannya sebagai pegawai Dishub, Amang menyempatkan diri untuk melatih. Itu ia lakukan bukan semata sebagai ajang transformasi ilmu. Khususnya, di dunia balap lari. Tapi, juga untuk mencari tambahan penghasilan.
Di tengah perbincangan itu, sebuah peristiwa diluar dugaan terjadi. Faishol, 20, putra pertama Amang tiba-tiba meraung dan diikuti kejang-kejang hebat. Karuan saja, suasana yang tadinya tenang mendadak sedikit gaduh. Amang yang semula duduk kursi ruang tamu pun bergegas menghampiri.
Sekitar10 menit pemandangan itu terjadi. Usai dipijat di bagian kaki, kejang-kejang yang dialami Faishol pun sedikit mereda. “Maaf jadi seperti ini,” ujar Amang sembari sesekali meniupkan udara ke arah bagian perut putranya itu.
Di sela upayanya menenangkan putranya itu, menurut Amang, kelainan itu sudah dialami putranya sejak enam tahun terakhir. Ia mengalami gangguan saraf semenjak ibu yang juga istri pertama Amang meninggal. “Ndak tahu. Sejak ibunya meninggal, dia jadi seperti ini. Mungkin terlalu mikir,” katanya.
Amang sendiri sebenarnya sudah berupaya untuk mengobati penyakit putranya itu. Termasuk, dengan membawanya ke tempat pengobatan alternatif. Namun, upaya itu belum banyak membuahkan hasil. “Kalau pas lagi pusing, pasti begini,” imbuhnya.
Sebagai jalan terakhir, ia pun memberinya obat yang diperoleh dari dokter. Sehari dua kali. Dengan harga obat Rp 4 ribu per butir. Beruntung. Ia memiliki askes. Sehingga, ia pun tidak terlalu terbebani dengan biaya pengobatan putranya itu. “Kalau tidak ada askes ya berat juga,” jelas Amang.
Apa yang terjadi pada diri putranya itu sebagai sebuah ironi. Mengingat, bakat Amang sebagai seorang pelari itu kini mengalir pada diri putranya itu. Hal itu dibuktikan dengan dereten piala yang diraih Faisol dari berbagai event kejuaran lari yang diikutinya. Baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Sayang, peluang untuk mengikuti jejak sang ayah itu terkendala dengan kondisi Faisol itu. “Mau bagaimana lagi. Ya harus bersabar,” ujar Amang yang mengaku tiga bulan lagi sudah memasuki masa pensiun ini.

Sekilas, dari yang pengamatan koran ini, untuk seorang mantan pelari nasional, kondisi Amang memang cukup sederhana. Statusnya sebagai pegawai petugas TPR terminal menjadi satu-satunya sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya.

Memang, saat masih aktif sebagai pelari dulu, dirinya mendapat uang pembinaan. Sebesar Rp 24 ribu per bulan. Itu pun, harus diambil ke kantor KONI di Surabaya. Namun, setelah prestasinya menurun, uang pembinaan itu tak lagi diterimanya.(Mochammad Asad)

Senin, 11 Mei 2009

Amang Mulachela, Potret Lemahnya Jaminan Hidup Atlet Berprestasi (1)


KENANGAN: Amang, bersama koleksi medali yang pernah diperolehnya.

UNTUK ukuran mantan atlet nasional, rumah Amang Malecha tergolong sederhana. Selain ukurannya relatif kecil, hanya 4 x 10 meter, kondisi rumahnya juga tak lebih baik dari rumah di sekitarnya.

Saat dikunjungi beberapa waktu lalu, (20/4), Amang terlihat santai. Seminggu lalu, pria kelahiran Pasuruan 9 Juli 1953 ini mendapat giliran masuk pagi. Sebagai pegawai di lingkungan Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Pasuruan. Tepatnya, di bagian penarikan retribusi di kawasan terminal Pandaan.

Selain di rumah, sehari-harinya Amang memang berada di terminal. Seminggu masuk pagi, seminggu masuk siang. Begitu seterusnya. “Jadi, seminggu ke depan saya masuk siang,” terang Amang yang kini berusia 56 tahun itu.

Deretan piala tampak berjajar di sebuah meja kecil yang ada di sudut ruang tamu. Piala-piala itu bukan milik Amang. Tapi milik putra pertamanya, Faishol, 20, atas prestasinya di sejumlah ajang kejuaraan atltetik. Itu pun baru sebagian saja. Sisanya diletakkan di atas almari yang ada di ruang tengah.

Piala-piala itulah barangkali satu-satunya yang menarik dilihat di ruang tamu itu. Selebihnya, hanya ada satu set meja kursi yang mulai kusam. Serta satu almari dan seperangkat alat elektronik. Seperti televisi 17 inch dan VCD player yang tampak kurang terawat.

Di almari itulah, Amang menyimpan beberapa medali yang pernah diraihnya selama mengikuti kejuaraan. Baik tingkat nasional maupun internasional. Terdiri dari 13 medali emas, 2 medali perunggu dan 1 medali perak.

Saat ditunjukkan, saya sempat sedikit kaget. Sekilas, medali-medali itu seperti bukan barang berharga. Selain sudah terlepas dari gantungannya, kepingan medali itu terlihat lapuk. Udara yang lembab juga membuatnya tertutup jamur.

Padahal, dulu jelas perlu kerja keras untuk mendapatkan keeping-keping medali tersebut. “Makanya, sekarang jadi seperti ini,” ujar Amang sembari menyodorkan beberapa keping koleksi medalinya itu. Warnanya memang sudah kusam tertutup jamur.
Amang sendiri lahir dari sebuah keluarga tergolong besar. Dari tujuh saudaranya, ia paling bungsu. “Sekarang tinggal empat, termasuk saya,” ungkapnya menyebut para saudaranya itu. Tiga saudaranya itu kini tinggal di Bangil, Malang dan Pandaan.

Ketertarikan Amang dengan olah raga adu lari cepat itu sebenarnya terlihat sejak kecil. Selain menyehatkan, olah raga itu juga dinilainya lebih praktis dan murah. Artinya, tidak perlu alat lain untuk melakukan olah raga ini.

Namun, Amang sama sekali tak mengira ketertarikannya pada jenis olah raga itu akan mengantarkannya menjadi atlet nasional. Itu bermula keikutsertaannya mengikuti lomba balap lari. Mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kabupaten.

Yang membanggakan, hampir di setiap perlombaan yang diikutinya itu, Amang meraih juara pertama. Termasuk, ketika mengikuti seleksi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) yang digelar Kabupaten Pasuruan, 1962 silam. Saat itu, Amang berhasil mengungguli peserta yang lain dalam beradu lari cepat.

Perlahan. Karir Amang sebagai pelari cepat di nomor 5.000 dan 10.000 meter itu pun kian moncer. Berbagai prestasi di ajang seleksi yang digelar di beberapa kota, seperti Malang dan Kediri berhasil ia sabet.

Akhirnya, prestasi itu mulai dilirik Pengurus Daerah Komite Olah Raga Nasional (KONI) Jatim. Amang kemudian dipanggil mewakili Jatim di ajang pesta olahraga terbesar di negeri ini, Pekan Olahraga Nasional (PON) VII yang digelar di Surabaya, tahun 1969.

Meski baru pertama kali tampil di level nasional, prestasi Amang tak terlalu mengecewakan. Putra pasangan Salim Mulachela dan Mahnunah itu berhasil menyabet juara di dua nomor lari yang diikutinya di event tersebut. Yakni di nomor 5.000 dan 10.000 meter.

Sukses yang diraih Amang pada PON VII itu membuat KONI kepincut. Pada PON berikutnya, pria yang menikah dua kali ini kembali dipanggil mewakili Jatim. Kali ini, untuk tampil pada event yang digelar di Jakarta.

Pada kejuaraan yang digelar tahun 1973 itu, lagi-lagi prestasi gemilang diraih Amang. Dia berhasil menyumbangkan dua medali untuk Jatin. Satu medali emas di nomor 10.000 meter dan satu medali perak di nomor lari 5.000 meter.

Penyelenggaraan PON IX adalah puncak bagi Amang mengukir prestasi. Dua medali emas dari nomor yang sama berhasil dipersembangkan Amang pada event yang kembali digelar di Ibukota Jakarta itu. “Dua-duanya dapat juara satu,” jelas pria yang rambutnya sudah mulai memutih ini.

Yang menarik, prestasi itu diraih Amang dilalui dengan penuh keunikan. Sebab, diantara sekian atlet yang tampil di lomba itu, hanya amang yang tidak memakai alas kaki. Dan ternyata, kondisi tak bersepatu itu memang ia lakukan sejak ketika ia masih kecil. Sebelum terjun sebagai pelari profesional.

“Mau bagaimana, wong memang tidak terbiasa,” jelasnya sembari tersenyum. Bukan hanya itu. Keunikan lainnya adalah kebiasaan menggunakan ujung kaki sebagai tumpuan saat berlari, dari pada menggunakan tumit. Tidak mengherankan. Oleh beberapa pelatihnya dulu, Amang termasuk sosok pelari dengan penuh keistimewaan. (Muhammad Asad/bersambung)

Senin, 04 Mei 2009

Ke Tampuono, Tempat Keramat di Lereng Pegunungan Arjuna (3-Habis)


MEMESONA: Jalan setapak menuju kawasan Tampuono
Hembusan angin yang perlahan terasa begitu sejuk. Suara-suara binatang alas yang sesekali terdengar saling bersahutan. Diselingi aroma dupa yang harum semerbak, membuat suasana di sekitar Tampuono menjadi lebih nyaman.
Tak mengherankan, banyak pengunjung yang menjadikan tempat ini sebagai jujugan untuk mencari ketenangan. Suroso, warga asal Jepara, Jawa Tengah yang sempat ditemui sebelumnya adalah salah satu dari mereka. ‘Hanya’ untuk mencari ketenangan itu, dirinya rela melewatkan waktunya selama lima bulan berada di sana.
Apalagi, selain petilasan Eyang Sekutrem, juga ada beberapa lokasi yang juga bisa dipercaya sebagai wasilah untuk mencari ketenangan itu. Diantaranya, petilasan Eyang Abi Yoso. Yang terletak di sisi belakang kawasan Tampuono. Tepat di belakang bangunan pendapa.
Petilasan ini berbeda dengan petilasan yang dijumpai sebelumnya. Selain lokasinya yang berada sedikit lebih tinggi dari Eyang Sekutrem, dari segi bangunannya juga lebih besar. Perbedaan lainnya juga terletak pada model petilasan yang menyerupai kuburan. Lengkap dengan dua batu di kedua sisi ujungnya.
Berada di tempat ini memang terasa mengasyikkan. Selain jauh dari keramaian kota, juga karena suasananya yang memang cukup nyaman. Apalagi, banyak rumah-rumah kosong yang bisa dipakai sebagai tempat tinggal. Jumlahnya mencapai empat rumah.
Meski hanya terbuat dari kayu, ukuran rumah yang berjajar itu cukup besar. Sekitar 4x7 meter. Lengkap dengan amben yang biasa dipakai tempat tidur.

“Lebih, kalau hanya untuk menampung 10 orang,” ujar Andry, salah satu warga yang ikut menemani berkeliling. Biasanya, di rumah-rumah inilah, pengunjung tinggal selama beberapa hari bahkan pekan atau bulan.
Tepat di depan rumah-rumah itu, adalah pendapa Tampuno. Dengan ukuran yang nyaris sama dengan altar dan pendapa yang ada di Goa Onto Boego. Di pendapa inilah, para pengunjung kerap menggelar upacara ritual.
Tidak mengherankan, jika desain bangunannya pun sama dengan yang ada di Onto Boego itu. Selain berlantaikan keramin, tepat di tengah ruangan, terdapat empat batu yang ditanam membantuk empat simpul persegi. Sementara di tengahnya, tampak sejumlah peralatan untuk membakar dupa.
Kondisi itu benar-benar menambah kesan mistis tempat tersebut. Apalagi, di beberapa sudut Tapuono, tampak beberapa patung arca. Termasuk, sebuah arca dewa yang beraa di belakang petilasan Eyang Abi Yoso. Para pengunjung asal Bali biasa menjadikan arca ini sebagai jujug an saat berada di tempat ini.
Puas mengelilingi kawasan Tampuono, saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Candi Lesung. Rutenya, dari petilasan Eyang Sekutrem, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke kanan. Melewati cela batang-batang pohon yang sudah berumur puluhan tahun.
Namun, pengunjung harus hati-hati. Selain banyak bebetuan licin karena tertutup lumut, terdapat sejumlah persimpangan yang memungkinkan pengunjung kesasar. Jalan yang kea rah kiri, menuju ke kawasan puncak Arjuna. Sementara yang ke kanan, menuju candi yang dimaksud.
Setengah jam berselimut semak-semak belukar, koran ini akhirnya sampai di lokasi candi. Meski tak ada papan tulisan yang menjelaskan nama lokasi itu, orang-orang menyebutkan sebagai Candi Lesung.
Sayang, struktur bangunan candi ini hampir habis. Kalau pun ada yang tersisa, adalah lempengan batu berbentuk persegi yang ditata hingga membentuk altar. Bisa jadi, dulunya ini adalah fondasi candi sebelum akhirnya seperti sekarang ini.
Satu-satunya yang mungkin dijadikan penanda akan keberadaan candi ini adalah batu panjang berukuran sekitar 1,5 meter dengan kondisi permukannya yang cekung. Lesung? Ya. Karena lesung inilah, candi ini dinamai candi lesung.
Tak jauh dari lokasi candi ini, berdiri sebuah bangunan (baca gubuk, Red) yang sangat sederhana. Terdiri dari beberapa pilar kayu dengan dinding dan atap bangunan yang terbuat dari seng. Seperti halnya rumah-rumah yang ada di Tampuono, bangunan ini juga biasa dimanfatakan pengunjung untuk menginap.
Yang menarik, adalah keberadaan tanah lapang yang berjarak sekitar 30 meter sebelah Timur dari lokasi candi. Dari lokasi itulah, pengunjung bisa menikmati sebuah pemandangan yang cukup menakjubkan.
Iringan-iringan awan putih yang cukup tebal di kawasan puncak Arjuna terasa begitu dekat. Belum lagi sejauh mata memandang, hamparan tanaman terlihat menghijau dari arah kaki pegunungan.
Dari tempat itu pula, koran ini bisa melihat situs-situs bersejarah. Diantaranya, Gumandar, Candi Lepek, Candi Semar, Makutoromo. Ini merupakan struktur di serambi muka dari halaman berikutnya lokasi itu merupakan komplek bangunan halaman muka dari halaman berikutnya.
Konon, tak kurang dari 20 arca dwarapala, yaitu penjaga bangunan suci berdiri dibangun di lokasi itu. Arca-arca itu diletakkan dengan posisi berurutan berbaris ke belakang ke sebuah titik yang lebih tinggi.
Dengan jarak pandang yang cukup jauh, kedua tempat itu terlihat cukup jelas. Dibutuhkan waktu satu setengah jam dari koran ini berdiri untuk sampai ke sana. (Muhammad As'ad)