
ELOK: Pemandangan air terjun Mbah Moyo, di Dusun Krajan, Desa Palangsari, Kecamatan Puspo cukup memesona. Sayang, keberadaannya belum banyak dikenal
Air terjun Mbah Moyo berada di Dusun Krajan, Desa Palangsari, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan. Jika dari atas permukaan air laut (dpl), ketinggiannya diperkirakan mencapai sekitar 1500 meter.
Meski secara administrative berada di wilayah Kecamatan Puspo, lokasinya justru lebih dekat dengan pusat kota Kecamatan Tutur (dh. Nongkojajar). Ini karen desa di mana air terjun itu berada, berbatasan langsung dengan desa di pinggiran wilayah Kecamatan Tutur.
Lantran alasan itu pula, tidak mengherankan jika sebagian pengunjung memilih melalui Nongkojajar untuk ke sana. Selain lebih sedikit menghemat waktu, akses jalan ke air terjun itu juga yang lebih mudah dibanding melalui Puspo.
Minggu (4/5) lalu, saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke air terjun tersebut. Sejuk hawa dingin khas pegunungan terasa menyapa begitu menginjakkan kaki di air terjun yang berada di kawasan pegunungan Bromo-Tengger itu. Saat itu, gumpalan mendung tipis yang berarakan terlihat memayung.
Kesan sebagai lokasi yang belum banyak terjamah oleh ‘orang luar’ begitu terasa. Selain sesekali terdengar suara binatang alasan, juga karena hamparan semak-semak yang subur menghijau. Terlebih, masih banyak tanaman bunga liar yang tumbuh di sekitar lokasi.
Jika dari Jalan Raya Surabaya-Malang, dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana. Yang setengah jamnya adalah untuk berjalan kaki dari kampong terakhir menuju lokasi. Maklum.
Lokasinya yang berada di balik perbukitan tidak memungkinkan untuk dicapai dengan menggunakan kendaraan. Apalagi, jaraknya pun cukup lumayan. Sekitar satu kilometer. Dengan kondisi jalan setapak yang dipenuhi semak belukar, serta sedikit berbatu.
Oleh warga, kondisi itu dimanfaatkan untuk mendapatkan rezeki tambahan. Membuka jasa penitipan sepeda motor bagi para pengunjung. Ongkosnya pun relaltif murah. Hanya seribu rupiah sekali titip.
Untuk sampai ke lokasi air terjun, pengunjung harus ekstra hati-hati. Sebab, akses jalan menuju ke sana masih berupa jalan setapak dan berada di lereng pegunungan. Selain banyak dipenuhi rumput liar, sebagian jalan juga berbatu. Hanya cukup untuk dilewati satu orang.
Belum lagi palung (jurang) pegunungan di sebelah sisi kiri jalan yang terlihat cukup curam. Saking curamnya, sampai-sampai, dari jalan setapak itu, tak terlihat dasar palung tersebut. Kondisi itu memaksa pengunjung untuk tetap memperhatikan tanah yang mereka injak agar tidak terperosok.
Kehati-hatian juga mutal diperlukan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya longsor dadakan. Sebab, akses jalan masuk yang memang berada di lereng pegunungan itu agaknya rentan terhadap longsor. Ini bisa dilihat dari banyaknya titik bekas longsor tersebut.
Tak hanya terjadi di beberapa bagian tebing yang berada di sisi kanan atas jalan. Tapi, juga di jalan yang dilewati. Bahkan, saat itu, saya juga mendapati beberapa titik jalan yang mulai retak.
“Kalau pas musim hujan begini, jarang warga yang ke sana. Takut kena longsor,” ujar salah satu warga yang ditemui sebelumnya. Alasan itu agaknya tidak terlalu berlebihan. Apalagi, kondisinya memang cukup mengkawatirkan. Dengan curah hujan yang masih cukup tinggi seperti ini, sangat mungkin terjadi longsor sewaktu-waktu.
Setengah jam berjalan, saya akhirnya sampai di lokasi yang dimaksud. Air yang terjun membentuk sebuah garis tinggi menjulang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara kemeresek saat air yang terjun itu menyentuh tanah. Suaranya terdengar cukup khas.
Konon, jika terik matahari dalam keadaan sempurna, percikan air yang terbawa angin terlihat berwarna-warni. Sayang, keindahan itu tidak sempat saya nikmati lantaran saat itu langit cukup mendung.
Di banding air terjun yang ada di Kabupaten Pasuruan lainnya, seperti Kakek Bodo, Putuk Truno atau Baung, air terjun yang satu ini terlihat lebih menarik. Selain karena air yang terjun lebih lama lantaran tebingnya lebih tinggi, lokasi tempat air jatuh juga lebih luas.
Tak banyak pepohonan yang tumpuh di sekitarnya. Hanya ada hamparan runmput liar yang ketinggiannya tak lebih dari setengah meter. Kondisi itu memungkinkan bagi pengunjung yang ingin menginap dan mendirikan tenda di sana.
Di sela menikmati kemolekan air terjun itu, perhatian saya sempat tertuju pada gundukan tanah dengan dua batu nisan yang tertanam di ujung kedua sisi gundukan itu. Kuburan? Ya. Menurut warga sekitar, gundukan yang panjangnya tak lebih dari dua meter itu adalah makam Mbah Moyo. Tokoh yang namanya diabadikan untuk identitas air terjun tersebut.
Tidak jelas ihwal siapa sebenarnya jasad yang tertanam di balik gundukan tanah itu. Namun, berdasar cerita yang berkembang di masyarakat, ia merupakan leluhur desa yang konon hidup di zaman sebelum era penjajahan belanda.
Selain makam Mbah Moyo, sebenarnya, ada satu lagi makam yang ada di kawasan air terjun itu. Satu makam lainnya berada di pertengahan air terjun. Memanfaatkan tebing lintasan air terjun yang membentuk kursi. Yang menarik, makam tersebut tidak ditandai dengan batu nisan, tapi dengan sebatang pohon.
Berada di tempat itu memang terasa berbeda. Selain kondisinya alamnya yang memang masih terlihat asli, juga karena suasananya yang cukup tenang. Sebuah kondisi yang memiliki nilai jual tinggi jika mampu dikelola secara maksimal. (*)