
Berdiskusi dengan Pak Sukadi
Pagi itu, matahari terlihat malu-malu menampakkan diri. Meski jam dinding menunjuk pukul 10. 30, udara masih terasa dingin. Bersamaan dengan itu, titik-titik air turun dari langit. Di sebuah rumah, seorang lelaki tampak duduk bersantai di teras rumah.
Sorotan matanya yang tajam tampak menerawang jauh. Ditemani secangkir kopi hitam, ia memperhatikan sekelompok anak kecil yang sedang bermain di halaman rumahnya. Sesekali, sebatang rokok yang terlilit di jari telunjuknya ia hisap dalam-dalam.
Sukadi. Begitu bapak empat anak itu biasa disapa. Seorang purnawirawan tentara dengan pangkat terakhir sebagai Peltu. Seperti kebanyakan pensiunan militer lainnya. Kehidupan Pak Sukadi pun terlihat cukup sederhana.
Selain arsitektur rumahnya yang terlihat sederhana, nyaris tidak ada perabot mewah yang bisa didapati di dalam rumah. "Ya begini ini rumahnya Mas. Tidak ada apa-apanya," ujarnya sembari mempersilakan saya masuk. Meski tak terlalu keras, suara Pak Sukardi masih terdengar jelas.
Begitulah Pak Sukardi. Jika tidak ada kegiatan, sehari-hari, ia pasti berada di rumah. Rumah yang sudah tujuh tahun ia tempati. Dulu, sebelum mendiami rumah tersebut, Pak Sukardi tinggal di Gang Melati, tak jauh dari kompleks pasar Kejapanan, Gempol. Atau, sekitar satu kilometer dari rumahnya sekarang.
Tujuh tahun lalu, setelah putra ketiganya menikah, Pak Sukadi memberikan rumahnya itu kepada anaknya itu. Berbekal tabungannya selama menjadi tentara dan sedikit simpanan pensiunan, Pak Sukadi akhirnya memutuskan untuk membeli tanah kaplingan. Luasnya sekitar 9x15 meter.
Tak terlalu besar memang. Tapi, ditanah inilah Pak Sukadi menemukan kebahagiannya. Bersama istri yang ia cintainya, Pak Sukadi tinggal hingga sekarang.
Di rumah sederhana itu, Pak Sukadi tidak tinggal sendirian. Ia ditemani Sutimah, wanita yang ia nikahi 40 tahun lalu. Pak Sukardi sebenarnya memiliki empat orang anak dari hasil perkawinannya itu. Tiga diantaranya telah berkeluarga. Hanya yang nomor tiga yang belum, meski usianya telah menginjak 32 tahu. "Sekarang dia kerja di Madura," ujarnya.
Beruntung. Meski ketiga putranya itu telah berkeluarga, tempat tinggal mereka tak jauh dari rumahnya. Kecuali Pranoto, putranya keempat yang menempati bekas rumahnya di dekat pasar Kejapanan. Karena itu, sepulang dari sekolah, rumah Pak Sukadi kerap jadi jujugan cucu-cucunya. Sekedar bermain atau minta dibuatkan makan.
Praktis. Ditengah kondisinya yang semakin tua itu, keberadaan cucu-cucu Pak Sukadi itu menjadi hiburan tersendiri. Maklum, ketiga anaknya sudah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Apalagi jika bukan karena desakan ekonomi keluarganya.
Meski begitu, Pak Sukadi santai saja menjalani sisa hidupnya. Kondisi ekonominya yang serba pas-pasan tak membuatnya kelimpungan. Ia masih bisa bersyukur dengan apa yang dicapainya sekarang ini. "Yang kondisinya lebih buruk dari saya kan masih banyak," katanya pelan.
Pak Sukadi sendiri lahir di Jember. Tepatnya, 17 Mei 1942 lalu. "Tapi, cuma numpang lahir. Saya besarnya justru di Pasuruan," ujarnya. Karena itu, tidak mengherankan jika kenalannya lebih banyak di Pasuruan dari pada di tempat kelahirannya itu.
Meski usianya telah menginjak angka 60 lebih, toh Pak Sukardi masih tampak semangant. Jiwa sebagai seorang tentang masih tampak saat diajak berbincang-bincang tentang Indonesia. Terutama, yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Indonesia, kata Pak Sukardi, sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi sebuah negara yang kuat. Namun, untuk mewujudkannya bukan hal yang mudah. Semua itu, kata dia, harus didukung oleh sosok pemimpin yang kompeteble, berani, tegas, bertanggung jawab dan siap berkorban demi rakyat.
Pada prinsipnya, negeri ini memiliki landasan negara yang cukup baik -untuk tidak menyebutnya sempurna. Namun, keberadaannya dirasa tidak membawa arti lantaran sikap pemimpinnya yang kerap menawar apa yang telah tertera di dalamnya. Akibatnya, nyaris tidak ada perubahan apapun untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Sebagai contoh adalah hadirnya survive-nya Rusia dan China sebagai kekuatan ekonomi baru. Menurut dia, semua itu tidak lepas dari sikap pemimpinnya yang memang memiliki visi, misi dan arah yang tegas untuk memajukan bangsanya.
Ia menyadari, apa yang melanda negeri ini adalah complicated. Nyaris semua fungsi dan sendi kehidupan bernegara tidak bisa jalan. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai, proses politik yang justru menjadi saling hujat, saling menjatuhkan. Kondisi ini memerlukam evaluasi total dari segenap pemimpin negeri ini. "Persoalannya, ketika evaluasi itu selesai, mau nggak pemimpin kita melakukannya," kata dia. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar